Pages

Saturday, April 6, 2013

Perbaikan Akhlak


Seorang muslim yang baik adalah yang bisa membuat kaum muslimin yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Demikianlah gambaran perilaku dan tingkah laku kaum beriman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di samping menempa para sahabat dengan penanaman akidah sahihah, maka beliau pun telah membina mereka di atas akhlak yang mulia. Beliau pun menegaskan, bahwa orang yang paling sempurna imannya adalah yang paling bagus akhlaknya.

[1] Keutamaan Rasa Malu
Keimanan yang benar akan senantiasa disertai dengan rasa malu kepada Allah, cinta kepada-Nya, harapan yang sangat kuat untuk meraih pahala-Nya, dan rasa takut terhadap hukuman-Nya. Selain itu, keimanan yang benar dan tulus akan menjadi cahaya bagi seorang hamba, yang akan mengentaskan dirinya dari kegelapan dosa (lihat at-Taudhih wa al-Bayan li Syajarat al-Iman, hal. 63).

Dari ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshari radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sesungguhnya salah satu ajaran kenabian yang pertama-tama dikenal oleh umat manusia adalah: Jika kamu tidak malu, maka berbuatlah sekehendakmu.” (HR. Bukhari no 3483).

Syaikh Yahya al-Hajuri hafizhahullah berkata, “Artinya adalah, orang yang tidak punya rasa malu niscaya dia akan melakukan berbagai perbuatan yang tercela.” (lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 146).

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Maknanya, apabila kamu hendak melakukan sesuatu, maka jika hal itu adalah suatu perbuatan yang tidak memalukan di hadapan Allah dan tidak memalukan di hadapan manusia maka lakukanlah. Kalau bukan, maka jangan kamu lakukan. Di atas hadits inilah berporos seluruh ajaran Islam.” (lihatad-Durrah as-Salafiyah, hal. 158).

Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad al-Badr hafizhahullah menjelaskan, “Hadits ini menunjukkan bahwa rasa malu itu terpuji. Sebagaimana ia berlaku dalam syari’at ini, maka ia pun berlaku dalam syari’at-syari’at terdahulu. Rasa malu merupakan bagian dari nilai-nilai akhlak mulia yang diwariskan oleh para nabi hingga kenabian itu berakhir pada umat ini. Perintah yang ada di dalam hadits ini menunjukkan kebolehan dan tuntutan apabila perkara yang tidak membuat malu itu bukan sesuatu yang dilarang oleh syari’at. Namun, apabila sesuatu yang tidak membuat malu itu adalah perkara yang terlarang, maka perintah ini maksudnya adalah tantangan/ancaman, atau menunjukkan bahwasanya perbuatan semacam itu tidak mungkin terjadi kecuali pada orang yang tidak punya rasa malu sama sekali atau sedikit rasa malunya.” (lihat Fath al-Qawi al-Matin, hal. 73)

Malu adalah akhlak para nabi ‘alahimus shalatu was salam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang sangat pemalu, bahkan lebih pemalu daripada seorang gadis yang sedang dalam pingitan. Demikian pula Nabi Musa ‘alaihis salam adalah seorang yang sangat pemalu, sehingga beliau tidak mau mandi bersama-sama sebagaimana kebiasaan Bani Isra’il. Apabila rasa malu itu lenyap, seorang perempuan akan seenaknya mengumbar aurat di hadapan kaum lelaki. Begitu pula, kaum lelaki yang tidak punya rasa malu akan suka melontarkan celaan dan umpatan kepada orang lain. Dalam sejarah pun kita mengetahui bahwa Abu Sufyan -yang ketika itu belum masuk Islam- selamat dari berdusta karena dia malu apabila dirinya dikatakan pendusta. Rasa malu akan menghalangi orang dari melakukan berbagai perbuatan keji, mencuri, berteriak-teriak di pasar, dan lain sebagainya (diringkas dari keterangan Syaikh Yahya al-Hajuri dalam Syarh al-Arba’in, hal. 147-148)

[2] Menjaga Lisan
Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim adalah yang membuat kaum muslimin yang lain selamat dari lisan dan tangannya. Dan seorang yang benar-benar berhijrah adalah yang meninggalkan segala perkara yang dilarang Allah.” (HR. Bukhari no 10).

Dari Abu Musa radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan bahwa para Sahabat bertanya kepada Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam“Wahai Rasulullah! Islam manakah yang lebih utama?” Beliau menjawab, “Yaitu orang yang membuat kaum muslimin yang lain selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari no 11 dan Muslim no 42)

an-Nawawi rahimahullah berkata, “Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Yaitu orang yang membuat kaum muslimin yang lain selamat dari lisan dan tangannya.” Maknanya adalah orang yang tidak menyakiti seorang muslim, baik dengan ucapan maupun perbuatannya. Disebutkannya tangan secara khusus dikarenakan sebagian besar perbuatan dilakukan dengannya.” (lihat Syarh Muslim [2/93]).

Imam al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Maksud hadits ini adalah bahwa kaum muslimin yang paling utama adalah orang yang selain menunaikan hak-hak Allah ta’ala dengan baik maka dia pun menunaikan hak-hak sesama kaum muslimin dengan baik pula.” (lihat Fath al-Bari [1/69])

al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Hendaknya kamu disibukkan dengan memperbaiki dirimu, janganlah kamu sibuk membicarakan orang lain. Barangsiapa yang senantiasa disibukkan dengan membicarakan orang lain maka sungguh dia telah terpedaya.” (lihat ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 38).

Pada suatu ketika Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berwasiat kepada putranya Abdurrahman. Beliau berkata, “Wahai putraku, aku wasiatkan kepadamu untuk selalu bertakwa kepada Allah. Kendalikanlah lisanmu. Tangisilah dosa-dosamu. Hendaknya rumahmu cukup terasa luas bagimu.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 30)

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Demi Allah yang tiada sesembahan yang benar selain-Nya. Tidak ada di muka bumi ini sesuatu yang lebih butuh dipenjara dalam waktu yang lama selain daripada lisan.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 26)

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, beliau berkata, “Sesuatu yang paling layak untuk terus dibersihkan oleh seorang hamba adalah lisannya.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 27)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berpesan, “Jauhilah oleh kalian kebiasaan terlalu banyak berbicara.”(lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 28)

Rabi’ bin Khutsaim rahimahullah berkata, “Persedikitlah ucapan kecuali dari sembilan perkara; Subhanallah, Alhamdulillah, Laa ilaaha illallaah, Allahu akbar, membaca al-Qur’an, memerintahkan sesuatu yang ma’ruf, melarang perkara yang mungkar, meminta kebaikan, atau berlindung dari keburukan.” (lihat ar-Rauh wa ar-Raihan, hal. 18)

Ibnul Mubarak dan Ibnu Abi ‘Ashim meriwayatkan dalam kitab az-Zuhd, dari Hasan al-Bashri rahimahullah. Beliau mengatakan sebuah ucapan yang menakjubkan, “Lisan seorang yang bijak itu terletak di belakang hatinya. Apabila dia ingin berbicara maka dia kembali kepada hatinya. Apabila ucapan itu mendatangkan kebaikan maka dia pun berbicara. Namun, apabila ucapan itu justru akan merugikan/berbahaya baginya maka dia pun menahannya. Adapun orang yang jahil/bodoh itu hatinya berada di pangkal lidahnya; sehingga dia tidak pernah kembali menilik ke dalam hati. Apa saja yang mampir di lidahnya, maka dia pun mengucapkannya.” (lihat ar-Rauh wa ar-Raihan, hal. 22)

Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Wahai Rasulullah! Apakah kami akan dihukum akibat segala yang kami ucapkan?”. Beliau pun menjawab, “Ibumu telah kehilangan engkau wahai Mu’adz bin Jabal! Bukankah yang menjerumuskan umat manusia tersungkur ke dalam Jahannam di atas hidungnya tidak lain adalah karena buah kejahatan lisan mereka?!” (HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir [20/127-128], disahihkan sanadnya oleh Syaikh Abdullah bin Yusuf al-Judai’ dalam ar-Risalah al-Mughniyah, hal. 27)

al-Laits bin Sa’ad rahimahullah menceritakan: Suatu ketika orang-orang melewati seorang rahib/ahli ibadah. Lantas mereka pun memanggilnya, tetapi dia tidak menjawab seruan mereka. Kemudian mereka pun mengulanginya dan memanggilnya kembali. Namun dia tetap tidak memenuhi panggilan mereka. Maka mereka pun berkata, “Mengapa kamu tidak mau berbicara dengan kami?”. Maka dia pun keluar menemui mereka dan berkata, “Aduhai orang-orang itu! Sesungguhnya lisanku adalah hewan buas. Aku khawatir jika aku melepaskannya dia akan memangsa diriku.” (lihat ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 32)

[3] Ketakwaan Hakiki
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu, barangsiapa yang mengagungkan perintah-perintah Allah, sesungguhnya hal itu lahir dari ketakwaan di dalam hati.” (QS. al-Hajj: 32). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidak akan sampai kepada Allah daging maupun darahnya (kurban), akan tetapi yang akan sampai kepada-Nya adalah ketakwaan dari kalian.” (QS. al-Hajj: 37).

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Ketakwaan yang hakiki adalah ketakwaan dari dalam hati bukan semata-mata ketakwaan dengan anggota badan.” (lihat al-Fawa’id, hal. 136).

Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata, “Hati ibarat seorang raja, sedangkan anggota badan adalah pasukannya. Apabila sang raja baik niscaya akan baik pasukannya. Akan tetapi jika sang raja busuk maka busuk pula pasukannya.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 14)

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Barangsiapa yang mencermati syari’at, pada sumber-sumber maupun ajaran-ajarannya. Dia akan mengetahui betapa erat kaitan antara amalan anggota badan dengan amalan hati. Bahwa amalan anggota badan tak akan bermanfaat tanpanya. Dan juga amalan hati itu lebih wajib daripada amalan anggota badan. Apakah yang membedakan antara seorang mukmin dengan seorang munafik kalau bukan karena amalan yang tertanam di dalam hati masing-masing di antara mereka berdua? Penghambaan/ibadah hati itu lebih agung daripada ibadah anggota badan, lebih banyak dan lebih kontinyu. Karena ibadah hati wajib di sepanjang waktu.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 14-15)

Ibnul Qayyim rahimahullah juga menegaskan, “Amalan-amalan hati itulah yang paling pokok, sedangkan amalan anggota badan adalah konsekuensi dan penyempurna atasnya. Sebagaimana niat itu menduduki peranan seperti halnya ruh, sedangkan amalan itu laksana tubuh. Itu artinya, jika ruh berpisah dari jasad, maka jasad itu akan mati. Oleh sebab itu memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan gerak-gerik hati itu lebih penting daripada mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan gerak-gerik anggota badan.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 15)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Petunjuk yang paling sempurna adalah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara itu, beliau adalah orang yang telah menunaikan kedua kewajiban itu -lahir maupun batin- dengan sebaik-baiknya. Meskipun beliau adalah orang yang memiliki kesempurnaan dan tekad serta keadaan yang begitu dekat dengan pertolongan Allah, namun beliau tetap saja menjadi orang yang senantiasa mengerjakan sholat malam sampai kedua kakinya bengkak. Bahkan, beliau juga rajin berpuasa, sampai-sampai dikatakan oleh orang bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun berjihad di jalan Allah. Beliau berinteraksi dengan para sahabatnya dan tidak menutup diri dari mereka. Beliau tidak pernah meninggalkan amalan sunnah dan wirid-wirid di berbagai kesempatan yang seandainya orang-orang yang terkuat di antara manusia ini berupaya untuk melakukannya niscaya mereka tidak sanggup melakukan seperti yang beliau lakukan. Allah ta’ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk menunaikan syari’at-syari’at Islam dengan perilaku lahiriyah mereka, sebagaimana Allah juga memerintahkan mereka untuk mewujudkan hakikat-hakikat keimanan dengan batin mereka. Salah satu dari kedua hal itu tidak diterima tanpa disertai dengan ‘teman’ dan pasangannya…” (lihat al-Fawa’id, hal. 137) 

[4] Menghindar Dari Fitnah
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan terjadi berbagai fitnah (kekacauan dan permusuhan). Pada saat itu, orang yang duduk lebih baik daripada yang berdiri. Orang yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan. Orang yang berjalan lebih baik daripada yang berlari. Barangsiapa yang menceburkan diri ke dalamnya niscaya dia akan ditelan olehnya. Dan barangsiapa yang mendapatkan tempat perlindungan hendaklah dia berlindung dengannya.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Fitan [7081] dan Muslim dalamKitab al-Fitan [2886])

al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits ini berisi peringatan keras supaya menjauh dari fitnah dan anjuran untuk tidak turut campur di dalamnya, sedangkan tingkat keburukan yang dialaminya tergantung pada sejauh mana keterkaitan dirinya dengan fitnah itu.” (lihat Fath al-Bari [11/37] cet. Dar al-Hadits)

Imam ath-Thabari rahimahullah berkata, “Pendapat yang tepat adalah fitnah di sini pada asalnya bermakna ujian/cobaan. Adapun mengingkari kemungkaran adalah sesuatu yang wajib dilakukan oleh setiap orang yang mampu melakukannya. Barangsiapa yang membantu pihak yang benar maka dia telah bersikap benar, dan barangsiapa yang membela pihak yang salah maka dia telah keliru.” (lihat Fath al-Bari [11/37] cet. Dar al-Hadits)

Thawus menceritakan: Tatkala terjadi fitnah terhadap ‘Utsman radhiyallahu’anhu, ada seorang lelaki arab yang berkata kepada keluarganya, “Aku telah gila, maka ikatlah diriku”. Maka mereka pun mengikatnya. Ketika fitnah itu telah reda, dia pun berkata kepada mereka, “Lepaskanlah ikatanku. Segala puji bagi Allah yang telah menyembuhkanku dari kegilaan dan telah menyelamatkan diriku dari turut campur dalam fitnah/pembunuhan ‘Utsman.” (HR. Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf [11/450] sanadnya dishahihkan oleh Syaikh Abdullah bin Yusuf al-Judai’ dalam ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 46)

al-Hasan rahimahullah mengatakan, “Salah satu tanda bahwa mulai Allah berpaling dari seorang hamba adalah tatkala dijadikan dia tersibukkan dalam hal-hal yang tidak penting bagi dirinya.” (lihat ar-Risalah al-Mughniyah, hal. 62). Wallahul musta’an.

[5] Jangan Menyepelekan Maksiat
Anas bin Malik radhiyallahu’anhu mengatakan, “Sesungguhnya kalian akan melakukan perbuatan-perbuatan yang dalam pandangan mata kalian hal itu lebih ringan daripada helaian rambut. Sementara kami dulu di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggapnya termasuk perkara-perkara yang membinasakan.” (HR. Bukhari, lihat Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari [11/372] cet. Dar al-Hadits tahun 1424 H)

Abu Hurairah radhiyallahu’anhu meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba bisa saja hanya mengucapkan suatu kalimat namun hal itu menyebabkan dirinya terjerumus ke dalam neraka lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [9/234] cet. Dar Ibnu al-Haitsam Tahun 2003)

Abu Hurairah radhiyallahu’anhu meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua umatku akan dimaafkan kecuali orang yang melakukan dosa secara terang-terangan. Termasuk perbuatan dosa yang terang-terangan yaitu apabila seorang hamba pada malam hari melakukan perbuatan (dosa) lalu menemui waktu pagi dalam keadaan dosanya telah ditutupi oleh Rabbnya, namun setelah itu dia justru mengatakan, ‘Wahai fulan, tadi malam saya melakukan ini dan itu’. Padahal sepanjang malam itu Rabbnya telah menutupi aibnya sehingga dia pun bisa melalui malamnya dengan dosa yang telah ditutupi oleh Rabbnya itu. Akan tetapi pagi harinya dia justru menyingkap tabir yang Allah berikan untuk menutupi aibnya itu.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [9/225] cet. Dar Ibnu al-Haitsam Tahun 2003)

[6] Amalkan Ilmu
Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membuahkan amalan. Kalau seorang hamba memiliki ilmu namun tidak mengamalkannya maka dia telah mengikuti jalannya orang-orang yang dimurkai -al-maghdhubi ‘alaihim-. Adapun apabila dia beramal namun tanpa landasan ilmu maka dia telah mengikuti jalannya orang-orang yang sesat -adh-dhaallin-. Apabila ilmu dan amal itu berjalan beriringan pada diri seorang hamba maka dia telah berjalan di atas jalannya orang-orang yang diberi karunia oleh Allah; yaitu jalannya para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang shalih (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 21)

Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk -keselamatan- dirinya maka sedikit darinya sebenarnya telah mencukupi. Akan tetapi barangsiapa yang menuntut ilmu demi memenuhi kebutuhan seluruh manusia, maka kebutuhan manusia itu tidak akan ada habisnya.” Lalu Syaikh Ibrahim ar-Ruhaili hafizhahullah mengatakan, “Oleh sebab itu sebenarnya tidak semestinya seorang memperbanyak ilmu namun tidak mengiringinya dengan amalan.” (dikutip dari rekaman ceramah Syarh Tsalatsat al-Ushul oleh Syaikh Ibrahim bin Amir ar-Ruhaili hafizhahullah)

Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhu meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kelak pada hari kiamat didatangkan seorang lelaki lalu dilemparkan ke dalam neraka. Maka usus perutnya pun terburai lalu dia pun berputar-putar dengannya sebagaimana halnya seekor keledai yang mengelilingi alat penggiling. Maka para penduduk neraka pun berkumpul mengerumuninya. Mereka mengatakan, ‘Wahai fulan, apa yang terjadi padamu. Bukankah dulu kamu memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungkar?’. Dia menjawab, ‘Benar. Aku dulu memang memerintahkan yang ma’ruf tapi aku sendiri tidak melaksanakannya. Dan aku juga melarang dari yang mungkar namun aku sendiri justru melakukannya.’.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [9/235] cet. Dar Ibnu al-Haitsam tahun 2003)

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr menceritakan: Suatu saat aku mengunjungi salah seorang bapak tua yang rajin beribadah di suatu masjid tempat dia biasa mengerjakan sholat. Beliau adalah orang yang sangat rajin beribadah. Ketika itu dia sedang duduk di masjid -menunggu tibanya waktu sholat setelah sholat sebelumnya- maka akupun mengucapkan salam kepadanya dan berbincang-bincang dengannya. Aku  berkata kepadanya, “Masya Allah, di daerah kalian ini banyak terdapat para penuntut ilmu.” Dia berkata,“Daerah kami ini!”. Kukatakan, “Iya benar, di daerah kalian ini masya Allah banyak penuntut ilmu.” Dia berkata,“Daerah kami ini!”. Dia mengulangi perkataannya kepadaku dengan nada mengingkari. “Daerah kami ini?!”. Kukatakan, “Iya, benar.” Maka dia berkata, “Wahai puteraku! Orang yang tidak menjaga sholat berjama’ah tidak layak disebut sebagai seorang penuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 36-37)

Ibnus Samak rahimahullah berkata, “Wahai saudaraku. Betapa banyak orang yang menyuruh orang lain untuk ingat kepada Allah sementara dia sendiri melupakan Allah. Betapa banyak orang yang menyuruh orang lain takut kepada Allah akan tetapi dia sendiri lancang kepada Allah. Betapa banyak orang yang mengajak ke jalan Allah sementara dia sendiri justru meninggalkan Allah. Dan betapa banyak orang yang membaca Kitab Allah sementara dirinya tidak terikat sama sekali dengan ayat-ayat Allah. Wassalam.” (lihatTa’thirul Anfas, hal. 570)

[7] Banyak Bersyukur Kepada Allah
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa syukur itu dibangun di atas tiga rukun; mengakui nikmat tersebut dari Allah secara batin, mengutarakannya secara lahir -yaitu dengan memuji Allah-, dan menggunakannya demi menggapai keridhaan Allah Dzat yang telah menganugerahkan nikmat tersebut kepadanya (lihat al-Wabil ash-Shayyib, hal. 3)

Abud Darda’ radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barangsiapa yang tidak mengenali kenikmatan Allah terhadap dirinya selain urusan makanan dan minumannya, maka sungguh sedikit ilmunya dan telah datang adzab untuknya.” (lihat Min Kitab az-Zuhd li Ibni Abi Hatim, hal. 48).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh jika kalian bersyukur maka pasti akan Aku tambahkan nikmat kepada kalian, akan tetapi jika kalian kufur/ingkar maka sesungguhnya siksa-Ku sangatlah pedih.” (QS. Ibrahim: 7). Allah ta’ala berfirman pula (yang artinya), “Betapa sedikit hamba-hamba-Ku yang pandai bersyukur.” (QS. Saba’: 13).

Muhammad bin Ka’ab rahimahullah mengatakan tentang maksud ayat (yang artinya), “Beramallah wahai keluarga Dawud sebagai bentuk syukur.” (QS. Saba’: 13). Kata beliau, “Hakikat syukur adalah bertakwa kepada Allah dan melaksanakan ketaatan kepada-Nya.” (lihat Min Kitab az-Zuhd li Ibni Abi Hatim, hal. 65).

Muhammad bin al-Hasan rahimahullah menceritakan: as-Sari bertanya kepadaku, “Apakah puncak syukur itu?”. Aku menjawab, “Yaitu Allah tidak didurhakai pada satu nikmat pun -yang telah diberikan-Nya-.” Lalu dia mengatakan, “Jawabanmu tepat, wahai anak muda.” (lihat al-Fawa’id wa al-Akhbar wa al-Hikayat, hal. 144)

[8] Banyak Berdzikir Kepada Allah
Rabi’ bin Anas rahimahullah menyebutkan sebuah ungkapan dari sebagian sahabatnya, “Tanda cinta kepada Allah adalah banyak berdzikir/mengingat kepada-Nya. Sebab sesungguhnya tidaklah kamu mencintai sesuatu melainkan kamu pasti akan banyak-banyak menyebutnya.”(lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 559).

Imam Ibnul A’rabi meriwayatkan dengan sanadnya dari Umair bin Habib, beliau berkata, “Iman itu bertambah dan berkurang.” Lalu ada orang yang bertanya, “Apa yang dimaksud bertambah dan berkurangnya?”. Beliau menjawab, “Apabila kita mengingat Allah dan merasa takut kepada-Nya itu pertambahannya. Dan apabila kita lalai, melupakan dan menyia-nyiakan maka itulah pengurangannya.”(lihat Mu’jam [1/235])

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan hati mereka merasa tentram dengan mengingat Allah, ketahuilah bahwa hanya dengan mengingat Allah maka hati akan merasa tentram.” (QS. ar-Ra’d: 28). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku pun akan mengingat kalian.” (QS. al-Baqarah: 152). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kepada Allah dengan sebanyak-banyaknya…” (QS. al-Ahzab: 41). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari mengingat Allah.” (QS. al-Munafiqun: 9).

Dari Abud Darda’ radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah aku kabarkan kepada kalian amalan terbaik yang bisa kalian kerjakan, suatu amalan yang paling suci di sisi Penguasa kalian, suatu amalan yang paling meninggikan derajat kalian, suatu amalan yang lebih baik untuk kalian daripada sekedar berinfak dengan emas dan perak, suatu amalan yang lebih baik bagi kalian daripada kalian bertemu dengan musuh kalian kemudian kalian memenggal leher mereka, atau mereka yang memenggal leher kalian?”. Mereka -para Sahabat- menjawab, “Tentu saja mau wahai Rasulullah!”. Beliau pun bersabda, “Yaitu berdzikir kepada Allah.”(HR. Tirmidzi no. 3377 dan Ibnu Majah no. 3790, al-Hakim berkata: sanadnya sahih, disepakati oleh adz-Dzahabi. Syaikh al-Albani pun menyetujuinya dalam al-Kalim ath-Tahyyib, hal. 60. Lihat Sunan Tirmidzi tahqiqSyaikh Ahmad Syakir [5/459], Ihda’ ad-Dibajah bi Syarhi Sunan Ibni Majah [5/159], al-Wabil ash-Shayyib, hal. 62tahqiq Syaikh Abdul Qadir al-Atna’uth dan Ibrahim al-Arna’uth)

Seorang hamba yang beribadah kepada Allah tanpa mengingat-Nya dan tanpa kekhusyu’an ibarat badan tanpa nyawa. Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Sholat tanpa kekhusyu’an dan hati yang hadir seperti badan yang mati, tak ada ruh padanya.” (lihat al-Wabil ash-Shayyib, hal. 11).

Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu berkata, “Tidak ada sesuatu yang lebih menyelamatkan dari azab Allah selain berdzikir kepada Allah.” (lihat Sunan Tirmidzi tahqiq Syaikh Ahmad Syakir [5/459], Ihda’ ad-Dibajah bi Syarhi Sunan Ibni Majah [5/159], Tuhfatul Ahwadzi [9/318], lihat juga dalam al-Mustadrak [1876]).

[9] Sabar dan Ridha Terhadap Takdir
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Benar-benar Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan, serta kekurangan harta, lenyapnya nyawa, dan sedikitnya buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila tertimpa musibah mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kami ini adalah milik Allah, dan kami juga akan kembali kepada-Nya’. Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan pujian dari Rabb mereka dan curahan rahmat. Dan mereka itulah orang-orang yang diberikan petunjuk.” (QS. al-Baqarah: 155-157)

Dari Shuhaib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik untuknya. Dan hal itu tidak ada kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan kesenangan maka dia pun bersyukur, maka hal itu adalah kebaikan untuknya. Apabila dia tertimpa kesulitan maka dia pun bersabar, maka hal itu juga sebuah kebaikan untuknya.” (HR. Muslim no. 2999).

Abu Ali ad-Daqqaq rahimahullah berkata, “Hakikat dari sabar yaitu tidak memprotes sesuatu yang sudah ditetapkan dalam takdir. Adapun menampakkan musibah yang menimpa selama bukan untuk berkeluh-kesah -kepada makhluk- maka hal itu tidak meniadakan kesabaran.” (lihat Syarh Muslim [3/7])

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Adapun manusia, apabila Rabbnya mengujinya dengan memuliakannya dan memberikan nikmat kepadanya maka dia berkata, “Rabbku telah memuliakanku.” Akan tetapi apabila dia diberi ujian dengan dibatasi rizkinya maka dia berkata, “Rabbku telah menghinakanku.” Sekali-kali tidak…” (QS. al-Fajr: 15-17)

Di dalam ayat ini, Allah ta’ala memberitahukan tentang tabi’at manusia yang sebenarnya, bahwasanya manusia adalah bodoh dan suka berbuat zalim. Tidak mengetahui dampak-dampak suatu urusan. Dia menyangka bahwa keadaan yang dialaminya akan terus-menerus terjadi dan tidak akan sirna. Dia mengira bahwa pemuliaan Allah di kehidupan dunia kepada seseorang adalah bukti pemuliaan orang tersebut di sisi-Nya dan kedekatannya dengan Allah. Sehingga, tatkala Allah membatasi rizkinya sebatas apa yang dibutuhkannya dan tidak berlebihan, maka dia pun mengira Allah telah menghinakan dirinya. Maka Allah pun membantah persangkaan ini dengan firman-Nya, “Sekali-kali tidak.” Maksudnya, tidak setiap orang yang diberikan kenikmatan dunia adalah orang yang mulia di sisi Allah. Sebagaimana pula, tidak setiap orang yang dibatasi rizkinya adalah orang yang hina di sisi-Nya. Sebab kekayaan dan kemiskinan, kelapangan dan kesempitan, itu semua adalah cobaan dari Allah untuk menguji hamba-Nya. Siapakah diantara mereka yang menunaikan kewajiban syukur dan sabar sehingga Allah akan membalas mereka dengan balasan yang melimpah. Dan siapakah diantara mereka yang tidak menunaikan kewajiban itu sehingga menyebabkan dirinya berhak mendapatkan siksaan yang amat berat (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 923-924)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah menimpa suatu musibah melainkan dengan izin Allah. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan berikan petunjuk ke dalam hatinya. Dan Allah terhadap segala sesuatu Maha Mengetahui.” (QS. at-Taghabun: 11).

‘Alqomah berkata tentang maksud ayat ini, “Dia adalah seorang yang tertimpa musibah, maka dia menyadari bahwa hal itu datang dari Allah, oleh sebab itu dia pun merasa ridha dan pasrah.” Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang tertimpa musibah kemudian bersabar maka Allah akan anugerahkan petunjuk ke dalam hatinya (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 345-346)

[10] Tidak Berputus Asa dari Rahmat Allah
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang melampaui batas kepada dirinya; Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni segala macam dosa. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. az-Zumar: 53)

Dari Abu Musa radhiyallahu’anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla senantiasa membentangkan tangan-Nya di waktu malam untuk menerima taubat pelaku dosa di waktu siang dan membentangkan tangan-Nya di waktu siang untuk menerima taubat pelaku dosa di waktu malam, sampai matahari terbit dari tempat tenggelamnya.” (HR. Muslim no. 2759).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bertaubat sebelum terbitnya matahari dari arah tenggelamnya niscaya Allah masih menerima taubatnya.” (HR. Muslim no. 2703)

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dahulu di kalangan Bani Isra’il ada seorang lelaki yang telah membunuh 99 jiwa manusia. Kemudian dia pun keluar dan mendatangi seorang rahib, lalu dia bertanya kepada rahib itu. Dia mengatakan, “Apakah aku masih bisa bertaubat?”. Rahib itu menjawab, “Tidak.” Maka lelaki itu pun membunuhnya. Setelah itu, ada seseorang yang memberikan saran kepadanya, “Datanglah ke kota ini dan itu.” Kemudian di tengah-tengah perjalanan tiba-tiba ajal menjemputnya. Dia meninggal dalam keadaan dadanya condong ke arah kota tujuannya. Terjadilah pertengkaran antara Malaikat Rahmat dan Malaikat Azab. Allah pun mewahyukan kepada kota yang satu, “Mendekatlah.” Dan Allah  mewahyukan kepada kota yang lainnya, “Menjauhlah.” Lalu Allah memerintahkan, “Ukurlah berapa jarak antara keduanya.” Ternyata didapati bahwa lelaki tersebut lebih dekat sejengkal dengan kota yang baik; maka diampunilah dia.” (HR. Bukhari no. 3470 dan Muslim no. 2766, ini lafal Bukhari)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, Allah jauh lebih bergembira terhadap taubat hamba-Nya ketika dia bertaubat kepada-Nya daripada salah seorang dari kalian yang suatu saat mengendarai hewan tunggangannya di padang yang luas namun tiba-tiba hewan itu lepas darinya. Padahal di atasnya terdapat makanan dan minumannya. Dia pun berputus asa untuk bisa mendapatkannya kembali. Lalu dia mendatangi sebuah pohon kemudian berbaring di bawah naungannya dengan perasaan putus asa dari memperoleh tunggangannya tadi. Ketika dia sedang larut dalam perasaan semacam itu, tiba-tiba hewan tadi telah ada berdiri di sisinya. Lalu dia pun meraih tali pengikat hewan tadi, dan karena saking bergembiranya dia pun berkata, ‘Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Rabbmu.’ Dia salah berucap gara-gara terlampau gembira.” (HR. Bukhari no. 6309 dan Muslim no. 2747, lafal milik Muslim)

[11] Tidak Merasa Ujub Dengan Amalnya
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh, Allah telah menolong kalian dalam berbagai tempat yang banyak, demikian pula pada perang Hunain; ketika itu jumlah kalian yang sedemikian banyak telah membuat kalian ujub, namun ternyata jumlah yang banyak itu sama sekali tidak mencukupi bagi kalian, dan bumi yang luas pun menjadi terasa sempit bagi kalian, kemudian kalian pun lari tunggang-langgang…” (QS. at-Taubah: 25).

Ketika itu, di antara para sahabat ada yang berkata, “Pada hari ini kita tidak akan kalah gara-gara jumlah yang sedikit.” Tatkala penyakit ujub/bangga diri menyelinap ke dalam hati mereka, Allah pun memberikan pelajaran bagi mereka. Dua belas ribu pasukan muslimin kocar-kacir di awal pertempuran dalam menghadapi empat ribu pasukan musyrikin dari kabilah Hawazin (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 345)

Ibnu Sa’ad menceritakan di dalam kitabnya ath-Thabaqat, bahwasanya Umar bin Abdul Aziz apabila berkhutbah di atas mimbar kemudian dia khawatir muncul perasaan ujub di dalam hatinya, dia pun menghentikan khutbahnya. Demikian juga apabila dia menulis tulisan dan takut dirinya terjangkit ujub maka dia pun menyobek-nyobeknya, lalu dia berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari keburukan hawa nafsuku.” (dikutip dari al-Fawa’id, hal. 146).

[12] Menjauhi Riya’
Riya’ merupakan sifat orang munafik. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Mereka itu riya’ kepada manusia, dan tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. an-Nisaa’: 142).

Bilal bin Sa’ad rahimahullah pernah mengatakan, “Janganlah kamu menjadi wali Allah di kala terang-terangan akan tetapi menjadi musuh Allah di kala sembunyi.” (lihat Sittu Duror min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 38).

Abul Aliyah berkata: Para Sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepadaku, “Janganlah kamu beramal untuk selain Allah. Karena hal itu akan membuat Allah menyandarkan hatimu kepada orang yang kamu beramal karenanya.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 568).

Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata, “Kalau ada dua orang yang berteman di perjalanan, kemudian salah satunya ingin menunaikan sholat [sunnah] dua rakaat, lalu dia meninggalkannya karena temannya [bukan karena Allah, pent] maka itu adalah riya’, demikian juga apabila mereka berdua mengerjakannya karena temannya maka itu adalah syirik.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 570)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Banyak orang yang mengidap riya’ dan ujub. Riya’ itu termasuk dalam perbuatan mempersekutukan Allah dengan makhluk. Adapun ujub merupakan bentuk mempersekutukan Allah dengan diri sendiri, dan inilah kondisi orang yang sombong. Seorang yang riya’ berarti tidak melaksanakan kandungan ayat Iyyaka na’budu. Adapun orang yang ujub maka dia tidak mewujudkan kandungan ayat Iyyaka nasta’in. Barangsiapa yang mewujudkan maksud ayat Iyyaka na’budumaka dia terbebas dari riya’. Dan barangsiapa yang berhasil mewujudkan maksud ayat Iyyaka nasta’in maka dia akan terbebas dari ujub. Di dalam sebuah hadits yang terkenal disebutkan, “Ada tiga perkara yang membinasakan; sikap pelit yang ditaati, hawa nafsu yang selalu diperturutkan, dan sikap ujub seseorang terhadap dirinya sendiri.”(lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 83 cet. al-Maktab al-Islami)

****

0 comments:

Post a Comment