Pages

Thursday, April 25, 2013

Zuhudlah, Niscaya Engkau Dicintai Allah Dan Dicintai Manusia





عَنْ أَبِـي الْعَبَّاسِ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ؛ قَالَ : أَتَىَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ ، فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِِ ! دُلَّنِـيْ عَلَـىٰ عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِيَ اللهُ وَأَحَبَّنِيَ النَّاسُ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : «اِزْهَدْ فِـي الدُّنْيَا ، يُـحِبُّكَ اللّٰـهُ ، وَازْهَدْ فِيْمَـا فِي أَيْدِى النَّاس ، يُـحِبُّكَ النَّاسُ». حَدِيْثٌ حَسَنٌ ، رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ وَغَيْرُهُ بِأَسَانِيْدَ حَسَنَةٍ

Dari Abul ‘Abbâs Sahl bin Sa’d as-Sa’idi Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Ada seseorang yang datang kepada Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Wahai Rasulullâh! Tunjukkan kepadaku satu amalan yang jika aku mengamalkannya maka aku akan dicintai oleh Allah dan dicintai manusia.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Zuhudlah terhadap dunia, niscaya engkau dicintai Allah dan zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya engkau dicintai manusia.” [Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah dan selainnya dengan beberapa sanad yang hasan]

TAKRIJ HADITS :
Hadits ini hasan diriwayatkan oleh:
1. Ibnu Mâjah no. 4102, dan ini lafazhnya.
2. Ibnu Hibbân dalam Raudhatul ‘Uqalâ` hlm. 128
3. Ath-Thabarâni dalam al-Mu’jamul Kabîr no. 5972
4. Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ' VII/155, no. 9991
5. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iimân no. 10043
6. Ibnu ‘Adi dalam al-Kâmil III/458
7. Al-‘Uqaili dalam adh-Dhu’afâ` II/357
8. Al-Hâkim IV/313

Hadits ini dihasankan oleh Imam an-Nawawi, al-Hâfidz Ibnu Hajar al-Asqalâni, al-Irâqi, al-Haitsami, dan Syaikh al-Albâni rahimahumullâh dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah no. 944 dan Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr no. 922

SYARAH HADITS :
Hadits ini mengandung dua wasiat agung : 
Pertama, zuhud terhadap dunia. Zuhud ini bisa menguncang kecintaan Allah Azza wa Jalla kepada seorang hambaNya.
Kedua, zuhud terhadap apa yang dimiliki orang lain. Zuhud ini bisa menyebabkan seseorang dicintai manusia.

PENGERTIAN ZUHUD
Zuhud terhadap sesuatu maknanya berpaling darinya karena menganggapnya remeh, tidak bernilai, atau tidak meminatinya. Para generasi Salaf dan generasi sesudah mereka banyak berbicara tentang makna zuhud terhadap dunia dengan redaksi yang beragam. 

Abu Muslim al-Khaulâni rahimahullah berkata, “Zuhud terhadap dunia tidak dengan mengharamkan yang halal dan menyia-nyiakan harta. Nnamun zuhud terhadap dunia ialah engkau lebih yakin kepada apa yang ada di tangan Allah Azza wa Jalla daripada apa yang ada di tanganmu, dan jika engkau diuji dengan musibah maka engkau lebih senang dengan pahalanya hingga engkau berharap seandainya musibah tersebut tetap terjadi padamu.”[1] 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan bahwa zuhud yang sesuai dengan syari’at adalah seseorang meninggalkan segala yang tidak bermanfaat di akhiratnya dan hatinya yakin serta percaya terhadap apa yang ada di sisi Allah Azza wa Jalla.[2] 

Jadi, zuhud ditafsirkan dengan tiga hal yang semuanya merupakan perbuatan hati. Oleh karena itu, Abu Sulaiman t mengatakan, “Janganlah engkau bersaksi untuk seseorang bahwa ia orang zuhud karena zuhud itu letaknya di hati.”[3] Tiga hal yang merupakan penafsiran zuhud yaitu :

Pertama : Hendaknya seorang hamba lebih yakin terhadap apa yang ada di sisi Allah Azza wa Jalla daripada apa yang ada di tangannya sendiri. Sikap ini muncul dari keyakinannya yang kuat dan lurus, karena Allah Azza wa Jalla menjamin rezeki seluruh hamba-Nya dan menanggungnya, seperti yang Allah Azza wa Jalla firmankan

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

Dan tidak ada satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin rezekinya oleh Allah. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam kitab yang nyata (Lauhul Mahfûzh).” [Hûd/11:6]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman,

مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ ۖ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ

Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal [an-Nahl/16:96]

Abu Hâzim rahimahullah pernah ditanya, “Apa hartamu?” Ia menjawab, “Aku mempunyai dua harta yang menyebabkan aku tidak takut miskin; Pertama, percaya sepenuhnya kepada Allah Azza wa Jalla dan kedua, tidak mempunyai harapan terhadap apa yang ada di tangan manusia.”

Al-Fudhail bin ‘Iyâdh rahimahullah berkata, “Prinsip zuhud ialah ridha kepada Allah Azza wa Jalla .” Ia juga mengatakan, “Qanâ’ah adalah zuhud dan itulah kekayaan (merasa cukup).” [4] 

Barangsiapa mewujudkan keyakinannya, maka ia percaya sepenuhnya kepada Allah Azza wa Jalla dalam segala urusannya, ridha dengan pengaturan-Nya dan tidak menggantungkan harapan dan kekhawatirannya pada makhluk. Ini semua bisa mencegahnya dari usaha menggapai dunia dengan cara-cara yang ilegal. Orang yang seperti inilah orang yang benar-benar zuhud terhadap dunia dan ia adalah manusia terkaya, kendati ia tidak mempunyai apapun.[5] 

Kedua: Jika seorang hamba mendapatkan musibah pada dunianya, misalnya hartanya ludes, anaknya meninggal dunia, dan lain sebagainya, maka ia lebih senang kepada pahala musibah tersebut daripada dunianya yang hilang itu kembali lagi. Sikap seperti ini muncul karena keyakinannya yang penuh.[6] 

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata dalam doanya,

اَللّٰــهُـــمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تَـحُوْلُ بِهِ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيْكَ ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ ، وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَا تُـهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا...

Ya Allah, anugerahkan kepada kami rasa takut kepada-Mu yang dapat menghalangi kami dari perbuatan maksiat kepada-Mu; Anugerahkan kepada kami ketaatan kepada-Mu yang akan menghantarkan kami ke surga-Mu; Dan anugerahkan kepada kami keyakinan yang membuat kami merasa ringan atas seluruh musibah dunia ini.[7] 

Allah Azza wa Jalla berfirman, yang maknanya : Setiap bencana yang menimpa di bumi dan menimpa dirimu, semuanya telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfûzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah. Agar kau tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.” [al-Hadîd/57:22-23]

Ketiga : Pujian dan celaan dari orang tidak berpengaruh bagi hamba yang zuhud selama dia dalam kebenaran. Ini juga pertanda zuhudnya terhadap dunia, menganggapnya rendah dan tidak berambisi kepadanya. Karena orang yang mengagungkan dunia, maka ia akan mencintai pujian dan membenci celaan. Ada kemungkinan, sikap mencintai pujian dan membenci celaan ini mendorongnya meninggalkan banyak kebenaran karena khawatir dicela serta mengerjakan berbagai perbuatan bathil karena mengharapkan pujian. Jadi, orang yang menilai pujian dan celaan manusia baginya itu sama selama dia dalam kebenaran, menunjukkan kedudukan seluruh makhluk telah runtuh dari hatinya. Hatinya penuh dengan kecintaan kepada kebenaran, dan ridha kepada Rabb-nya. Allah Azza wa Jalla memuji orang-orang yang berjihad di jalan Allah Azza wa Jalla dan tidak takut celaan.[8]

يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ

Mereka berjihad di jalan Allah dan tidak takut celaan orang yang mencela. [al-Mâidah/5:54]

Bertolak dari definisi bahwa orang yang zuhud sejati ialah orang yang tidak memuji dirinya dan tidak pula mengagungkannya, Yûsuf bin al-Asbâth t berkata, “Zuhud terhadap kekuasaan itu lebih berat daripada zuhud terhadap dunia.”[9] 

Jadi, barangsiapa menghilangkan ambisi untuk berkuasa di dunia ini dari dalam hatinya dan menghilangkan perasaan lebih hebat dari orang lain, sungguh, dia orang yang zuhud sejati dan dialah orang yang pemuji dan pencelanya dalam kebenaran itu sama saja.

ZUHUD YANG BID’AH
Zuhud yang bid’ah adalah zuhud yang menyelisihi Sunnah dan tidak mendatangkan kebaikan. Ia hanya menzhalimi dan membutakan hati serta mengotori keindahan agama Islam yang diridhai Allah Azza wa Jalla ini dan membuat manusia lari menjauhi agama Islam, menghancurkan peradabannya dan membuat umatnya takluk kepada musuh Islam. Selain itu, zuhud bid’ah ini juga menimbulkan kebodohan yang merata dan bersandar kepada selain Allah Azza wa Jalla . Berikut ini ucapan para tokoh Sufi yang mengajarkan zuhud bid’ah.

Al-Junaid berkata, “Yang lebih saya sukai bagi para pemula ialah tidak menyibukkan hatinya dengan ketiga hal ini, jika tidak, maka keadaan akan berubah: pertama: berusaha (mencari rizki), kedua: mencari hadits, dan menikah: menikah. Dan yang saya sukai dari seorang Sufi ialah hendaknya ia tidak membaca dan tidak menulis, supaya lebih konsentrasi.”[10] 

Abu Sulaiman ad-Darani berkata, “Apabila seseorang mencari hadits, atau safar dalam rangka mencari rezeki, atau menikah maka ia telah bertumpu pada dunia.”

Semua yang disebutkan di atas oleh al-Junaid dan Abu Sulaimân ad-Darani adalah menyelisihi Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka berusaha merusak Islam, mengajak orang supaya bodoh, statis, malas, mengemis serta membuka pintu zina, onani, homoseksual dan lainnya.

Telah diketahui bersama bahwa peradaban Islam tidak akan tegak kecuali dengan ilmu, mata pencaharian dan menikah. 

Islam menyuruh umatnya agar menuntut ilmu agama juga ilmu dunia. Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُـلِّ مُـسْلِمٍ

Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim. [11] 

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, yang maknanya : Barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu, maka Allah mudahkan jalannya menuju Surga.[12] 

Islam menyuruh kita untuk bekerja dan mencari nafkah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ ، وَإِنَّ نَبِيَّ اللّٰـهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَ مُ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

Tidaklah seseorang makan suatu makanan pun yang lebih baik daripada hasil pekerjaan (usaha) tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabiyullah Dâwud Alaihissallam makan dari hasil pekerjaan tangannya sendiri.[13] 

Dan Islam juga menyuruh umatnya untuk menikah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ ، وَمَنْ لَـمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Wahai para pemuda! Barang siapa di antara kalian memiliki kemampuan menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu dapat membentengi dirinya.[14] 

TIDAK MENGUTAMAKAN KESENANGAN DUNIAWI
Dalam al-Qur`ân banyak didapatkan pujian bagi orang zuhud pada dunia dan mengecam cinta dunia. Allah Azza wa Jalla berfirman,

بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا ﴿١٦﴾ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ

Sedangkan kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” [al-A’lâ/87:16-17]

Allah Azza wa Jalla berfirman, yang artinya : Mereka bergembira dengan kehidupan dunia, padahal kehidupan dunia hanyalah kesenangan (yang sedikit) dibanding kehidupan akhirat. [ar-Ra’d/13:26]

Allah Azza wa Jalla berfirman, yang maknanya : Katakanlah, ‘Kesenangan di dunia ini hanya sedikit dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dizhalimi sedikit pun. [an-Nisâ'/4:77]

Seorang Mukmin tidak boleh tertipu dengan dunia. Allah Azza wa Jalla berulang-ulang mengingatkan dalam firman-Nya agar kita tidak tertipu dengan dunia.

Allah Azza wa Jalla berfirman, 

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.” [Ali ‘Imrân/3:185]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ ۖ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا ۖ وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ

Wahai manusia! Sungguh, janji Allah itu benar, maka janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan janganlah (setan) yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah. [Fâthir/35:5]

Hadits-hadits tentang celaan terhadap dunia dan kehinaannya di sisi Allah Azza wa Jalla banyak sekali. 

Diriwayatkan dari Jâbir Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan melewati pasar sedang manusia berada di pasar tersebut. Beliau berjalan melewati bangkai anak kambing jantan yang kedua telinganya kecil. Sambil memegang telinga binatang beliau bersabda, “Siapa di antara kalian yang suka membeli ini seharga satu dirham ?” Orang-orang berkata, “Kami sama sekali tidak tertarik kepadanya. Apa yang bisa kami perbuat dengannya?” Beliau bersabda, “Apakah kalian suka jika ini menjadi milik kalian ?” Orang-orang berkata, “Demi Allah, kalau anak kambing jantan ini hidup, pasti ia cacat, karena telinganya kecil, apalagi ia telah mati?” Beliau bersabda, “Demi Allah, sungguh, dunia itu lebih hina bagi Allah daripada bangkai anak kambing ini bagi kalian.”[15] 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَاللهِِ، مَا الدُّنْيَا فِـي الْآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَـجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هٰذِهِ - وَأَشَارَ يَـحْيَى بِالسَّبَّابَةِ - فِـي الْيَمِّ ، فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ ؟

Demi Allah! Tidaklah dunia dibandingkan akhirat melainkan seperti salah seorang dari kalian meletakkan jari-jarinya- Yahya (perawi hadits) berisyarat dengan jari telunjuknya- ke laut, maka lihatlah apa yang dibawa jari-jarinya ?”[16] 

Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوْضَةٍ ؛ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَـا شَرْبَةَ مَاءٍ

Seandainya dunia di sisi Allah sebanding dengan sayap nyamuk, maka Dia tidak memberi minum sedikit pun darinya kepada orang kafir.[17] 

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ ، وَإِنَّ اللّٰـهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

Sesungguhnya dunia ini manis dan indah. Dan sesungguhnya Allah menguasakan kepada kalian untuk mengelola apa yang ada di dalamnya, lalu Dia melihat bagaimana kalian berbuat. Oleh karena itu, berhati-hatilah terhadap dunia dan wanita, karena fitnah yang pertama kali terjadi pada bani Israil adalah karena wanita.[18] 

MAKNA KECAMAN KEPADA DUNIA
Ketahuilah bahwa kecaman kepada dunia dalam al-Qur`ân dan Sunnah itu tidak tertuju kepada malam dan siang, karena Allah Azza wa Jalla menjadikannya silih berganti bagi orang yang ingin ingat dan bersyukur.

Kecaman kepada dunia juga tidak tertuju kepada tempat dunia yang tidak lain adalah bumi yang dijadikan Allah Azza wa Jalla sebagai hamparan dan tempat tinggal; Tidak pula ke gunung, laut, sungai, pertambangan, pohon, hewan-hewan dan lain sebagainya yang ada di dalamnya karena itu semua nikmat-nikmat Allah Azza wa Jalla kepada hamba-hamba-Nya. 

Namun, kecaman kepada dunia tertuju kepada perbuatan-perbuatan anak keturunan Adam yang terjadi di dunia karena sebagian besar perbuatan mereka mempunyai dampak yang tidak terpuji, bahkan berdampak negatif atau melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat, seperti difirmankan Allah Azza wa Jalla,

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ 

Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan [al-Hadîd/57:20]

DUA KELOMPOK MANUSIA DI DUNIA
Manusia di dunia terbagi menjadi dua kelompok :
Kelompok Pertama : Yang mengingkari keberadaan negeri lain setelah dunia ini yaitu negeri untuk memberikan balasan. Mereka itulah yang dikatakan oleh Allah Azza wa Jalla dalam firman-Nya, yang bermakna : Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan dunia serta tentram dengan kehidupan itu, dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya di neraka, karena apa yang telah mereka lakukan.” [Yunus: 7-8]

Ambisi mereka adalah menikmati dunia dan memanfaatkan seluruh kelezatannya sebelum mati, seperti difirmankan Allah Azza wa Jalla,

ۖ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الْأَنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَهُمْ

Dan orang-orang kafir menikmati kesenangan dunia, dan mereka makan seperti hewan makan; dan kelak nerakalah tempat tinggal bagi mereka.[Muhammad/47:12]

Kelompok Kedua : Yang mengakui adanya negeri Akhirat setelah kematian.
Kelompok ini bergabung ke dalam syari’at para rasul. Mereka terbagi ke dalam tiga kelompok: Pertama, orang yang menzhalimi dirinya sendiri. Kedua, orang yang pertengahan. Ketiga, orang yang berlomba dalam kebaikan atas izin Allah Azza wa Jalla . 

Kelompok yang menzhalimi dirinya sendiri adalah kelompok terbanyak dan kebanyakan mereka terlena dengan bunga-bunga dunia dan perhiasannya, lalu mengambilnya dan menggunakannya tidak pada semestinya. Akibatnya, dunia menjadi ambisi terbesarnya. Karena dunialah, mereka marah, ridha, berdamai dan memusuhi. Merekalah orang-orang yang lalai, main-main, orang-orang yang mementingkan penampilan, sombong dan gila harta. Mereka tidak mengetahui jalan hidup dan tidak menyadari bahwa dunia merupakan tempat perjalanan untuk menyiapkan bekal akhirat. Kendati ada diantara mereka yang mengimaninya namun dengan keimanan global, mereka tidak mengetahuinya secara detail dan tidak merasakan kenikmatan yang dirasakan orang-orang yang mengenal Allah Azza wa Jalla di dunia yang merupakan sampel kenikmatan yang disiapkan di akhirat.

Kelompok yang pertengahan ialah orang-orang yang mengambil dunia dari sumber yang diperbolehkan, menunaikan kewajiban-kewajibannya, menyimpan harta lebih dari kebutuhannya dan juga sering bersenang-senang dengan kenikmatan dunia. 

Adapun kelompok yang berlomba-lomba dalam kebaikan seizin Allah Azza wa Jalla , mereka memahami tujuan dunia dan beramal sebagaimana mestinya. Mereka sadar bahwa Allah Azza wa Jalla menempatkan para hamba-Nya di dunia dalam rangka menguji mereka; siapakah di antara mereka yang paling baik amalnya, seperti yang Allah Azza wa Jalla firmankan, yang artinya :Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan ‘Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. [Hûd/11:7]

Kelompok yang berlomba-lomba dalam kebaikan ini terbagi ke dalam dua kelompok.
Pertama: Kelompok yang hanya mengambil dunia sebatas untuk menutup kerongkongan saja. Inilah kondisi kebanyakan orang-orang yang zuhud.

Kedua: Kelompok yang terkadang mengizinkan dirinya menikmati sebagian kesenangan yang diperbolehkan supaya lebih kuat dan giat dalam beramal, seperti diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, 

إِنَّمَـا حُبِّبَ إِلَـيَّ مِنْ دُنْيَاكُمْ : النِّسَاءُ وَالطِّيْبُ ، وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِـيْ فِـي الصَّلاَةِ

Sesungguhnya di antara dunia kalian yang menjadikan aku terpikat kepadanya ialah wanita dan parfum dan penyejuk mataku dijadikan dalam shalat.[19] 

Jika seorang Mukmin ketika melampiaskan syahwatnya yang mubah berniat untuk memperkuat diri dalam melaksanakan ketaatan, maka pelampiasannya itu adalah ketaatan baginya dan ia diberi pahala. Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu mengatakan, “Sungguh, aku mengharapkan pahala dari tidurku sebagaimana aku mengharapkan pahala dari shalatku.” Maksudnya, ia berniat dengan tidurnya supaya kuat melakukan qiyâmul lail di akhir malam. 

Sa’id bin Jubair Radhiyallahu anhu mengatakan, “Kenikmatan yang menipu ialah kenikmatan yang melalaikanmu dari mencari akhirat dan apa saja yang tidak melalaikanmu tidak dikatakan kenikmatan yang menipu, namun dikatakan kenikmatan yang mengantarkan kepada sesuatu yang lebih baik.”[20] 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

اَلدُّنْيَا مَلْعُوْنَةٌ ، مَلْعُوْنٌ مَا فِيْهَـا ، إِلاَّ ذِكْرَ اللهِ وَمَــا وَالاَهُ أَوْ عَالِـمًـا أَوْ مُتَعَلِّمًـا

Dunia itu terlaknat dan terlaknat pula apa yang ada di dalamnya, kecuali dzikir kepada Allah dan apa saja yang mendukungnya (dzikir), orang alim, dan orang yang belajar.[21] 

Jadi, dunia dan isinya terlaknat, maksudnya dijauhkan dari Allah Azza wa Jalla , karena bisa menyibukkan dari Allah Azza wa Jalla , kecuali ilmu yang bermanfaat yang membimbing menuju Allah Azza wa Jalla , supaya kenal dengan-Nya, mencari kedekatan dan keridhaan-Nya, juga dzikir kepada Allah Azza wa Jalla dan yang mendukungnya. Itulah tujuan dunia, karena Allah Azza wa Jalla memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk sentiasa bertakwa dan taat kepada-Nya. Ini menuntut seorang hamba selalu berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla. Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu tentang definisi takwa : "Hendaklah Allah itu ditaati dan tidak dimaksiati, diingat dan tidak dilupakan, serta disyukuri dan tidak diingkari.[22] 

Allah Azza wa Jalla mensyari'atkan shalat dalam rangka dzikir kepada-Nya, begitu juga haji dan thawaf. Ahli ibadah yang paling utama ialah orang yang paling banyak berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla dalam ibadahnya. Ini semua (dzikir, shalat, dll) tidak termasuk dunia yang tercela, karena itulah tujuan penciptaan dunia dan manusia. Allah Azza wa Jalla berfirman yang maknanya : "Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. [adz-Dzâriyât/51:56]

Al-Qur`ân dan Sunnah menegaskan bahwa akhirat lebih baik daripada dunia secara mutlak. Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

وَ اللهِ ، مَا الدُّنْيَا فِـي الْآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَـجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِـي الْيَمِّ ، فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ ؟

Demi Allah, tidaklah dunia dibandingkan akhirat melainkan seperti salah seorang dari kalian meletakkan jari-jarinya ke laut, maka lihatlah air yang dibawa jari-jarinya ? [23] 

Hadits ini menegaskan bahwa akhirat lebih baik daripada dunia beserta isinya.

CARA MENDAPATKAN KECINTAAN ALLAH AZZA WA JALLA.
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Zuhudlah terhadap dunia niscaya Allah mencintaimu.”

Zuhud terhadap dunia adalah salah satu cara mendapatkan cinta Allah Azza wa Jalla . Yang dimaksud zuhud di sini ialah zuhud seperti yang dilakukan oleh para Ulama Salaf, bukan zuhud menurut cara ahlul bid’ah yang menyebabkan kaum Muslimin menjadi terbelakang. Kecintaan Allah Azza wa Jalla terhadap hamba-Nya adalah perkara agung. Orang yang dicintai Allah Azza wa Jalla berarti telah diberikan taufik (bimbingan) ke arah yang dicintai dan diridhai-Nya.

Masih banyak cara untuk mendapatkan kecintaan Allah Azza wa Jalla , di antaranya: berbuat baik kepada kedua orang tua, keluarga, sanak kerabat, tetangga, dan sesama kaum Muslimin, tawakkal kepada Allah Azza wa Jalla , menegakkan keadilan, sabar, takwa, bersuci lahir batin, berjihad di jalan Allah Azza wa Jalla , dan lain sebagainya. Kesimpulannya, bahwa cara mendapatkan kecintaan Allah Azza wa Jalla ialah mentaati-Nya dengan jujur dan menjauhi segala larangan-Nya.

CARA MENDAPATKAN KECINTAAN MANUSIA
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Dan zuhudlah terhadap apa yang ada di tangan manusia niscaya engkau dicintai manusia.”

Hadits ini menunjukkan bahwa Allah Azza wa Jalla mencintai orang-orang yang zuhud terhadap dunia. Allah Azza wa Jalla mencela orang-orang yang mencintai dan mengutamakan dunia daripada akhirat. Allah Azza wa Jalla berfirman,

كَلَّا بَلْ تُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ ﴿٢٠﴾ وَتَذَرُونَ الْآخِرَةَ 

Tidak! Bahkan kamu mencintai kehidupan dunia dan mengabaikan (kehidupan) akhirat. [al-Qiyâmah/75: 20-21]

Jika Allah Azza wa Jalla mencela orang-orang yang mencintai dunia, maka itu menunjukkan bahwa Dia memuji orang-orang yang tidak mencintai dunia, menolaknya, dan meninggalkannya.

Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَـمَّهُ ؛ فَـرَّقَ اللّٰـهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَـيْهِ ، وَلَـمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا كُتِبَ لَـهُ ، وَمَنْ كَـانَتِ الْآخِرَةُ نِـيَّـتَـهُ ، جَـمَعَ اللّٰـهُ لَهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِـيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَـا وَهِيَ رَاغِمَةٌ

Barangsiapa yang tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia mendapat dunia menurut apa yang telah ditetapkan baginya. Dan barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allah akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.[24] 

Wasiat kedua di hadits ini ialah zuhud terhadap apa saja yang ada di tangan manusia. Zuhud seperti ini membuat orang dicintai manusia. Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَاعْلَمْ أَنَّ شَرَفَ الْـمُؤْمِنِ قِيَامُهُ بِاللَّيْلِ ، وَعِزَّهُ اسْتِغْنَاؤُهُ عَنِ النَّاسِ

Dan ketahuilah bahwa kemuliaan seorang Mukmin ialah shalat malamnya dan kehormatannya ialah tidak merasa butuh kepada manusia.[25] 

Seseorang sangat butuh kecintaan orang lain. Ia akan merasa senang dan lapang dada ketika ia hidup di tengah masyarakat yang mencintainya. Sebaliknya ia merasa sempit ketika hidup di tengah masyarakat yang membencinya. Namun, yang perlu diperhatikan dalam menggapai cinta manusia yaitu harus dengan cara yang benar dan adil yang dibenarkan dalam agama Islam, bukan dengan cara-cara yang menyimpang dari agama Islam.[26] 

Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَرْضَى النَّاسَ بِسَخَطِ اللهِ وَكَلَهُ اللهُ إِلَـى النَّاسِ ، وَمَنْ أَسْخَطَ النَّاسَ بِرِضَا اللهِ كَفَاهُ اللهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ

Barangsiapa mencari ridha manusia dengan membuat Allah murka, maka ia diserahkan oleh Allah kepada manusia, dan barangsiapa membuat marah manusia dengan keridhaan Allah, maka Allah akan mencukupinya dari kekejaman manusia.[27] 

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Engkau senantiasa menjadi mulia di mata manusia atau manusia senantiasa memuliakanmu jika engkau tidak mengambil apa yang ada di tangan manusia. Jika engkau mengambil apa yang ada di tangan manusia, mereka meremehkanmu, membenci perkataanmu dan benci kepadamu.”[28] 

Banyak hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan menahan diri dari meminta-minta kepada manusia. Barangsiapa meminta sesuatu yang ada di tangan manusia, maka mereka membencinya dan tidak menyukainya, karena manusia itu menyukai harta. Dan meminta apa yang disukai oleh orang yang memilikinya akan menimbulkan kebencian. 

Adapun orang yang zuhud terhadap apa yang ada di tangan manusia dan menahan diri darinya, maka mereka akan mencintai dan memuliakannya. Seorang Arab Badui bertanya kepada penduduk Basrah, “Siapakah orang mulia di desa ini?” Penduduk Bashrah menjawab, “Al-Hasan.” Orang Arab badui itu bertanya, “Kenapa ia mulia bagi penduduk Bashrah?” Penduduk Bashrah menjawab, “Manusia membutuhkan ilmunya, sedang ia tidak membutuhkan dunia mereka.”

Sungguh indah perkataan salah seorang generasi Salaf ketika menyifatkan dunia dan penghuninya,
Dunia tidak lain adalah bangkai yang berubah,
Yang dikerumuni anjing-anjing dan mereka ingin menyeretnya
Jika engkau menjauhi bangkai tersebut, engkau memberi kedamaian bagi pemiliknya
Jika engkau menariknya, engkau bersaing dengan anjing-anjingnya.[29] 

FAWAA-ID HADITS
1. Tingginya cita-cita para Sahabat, terbukti mereka selalu bertanya kepada Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat mereka.
2. Menetapkan salah satu sifat Allah Azza wa Jalla , yaitu Allah Azza wa Jalla mencintai dengan cinta yang sesungguhnya yang sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya.
3. Tidak mengapa bagi seseorang berusaha mendapatkan kecintaan manusia selama cara dan tujuannya adalah benar dan diridhai Allah Azza wa Jalla .
4. Keutamaan zuhud di dunia.
5. Kedudukan zuhud lebih tinggi daripada wara’ karena wara’ artinya meninggalkan apa yang berbahaya saja sedangkan zuhud meninggalkan apa saja yang tidak bermanfaat di akhirat.
6. Zuhud sebagai sebab mendapatkan kecintaan Allah Azza wa Jalla . Dan di antara sebab terbesar mendapatkan kecintaan Allah Azza wa Jalla ialah mengikuti Sunnah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
7. Anjuran dan dorongan agar zuhud terhadap segala apa yang dimiliki orang lain karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan hal itu sebagai sebab mendapatkan kecintaan manusia.
8. Merasa cukup dan tidak mengharap apa yang ada di tangan manusia dan tidak minta-minta kepada mereka, akan membawa kepada kecintaan manusia.

MARAJI’
1. Al-Qur`ân dan terjemahnya.
2. Tafsîr ath-Thabari.
3. Tafsîr Ibni Katsir.
4. Shahîh al-Bukhâri.
5. Shahîh Muslim 
6. Musnad Imam Ahmad.
7. Sunan Abu Dâwud.
8. Sunan at-Tirmidzi.
9. Sunan an-Nasâi.
10. Sunan Ibni Mâjah.
11. Shahîh Ibni Hibbân (At-Ta’lîqâtul Hisân).
12. Hilyatul Auliyâ’, karya Abu Nu’aim.
13. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhîm Bâjis.
14. Qawâ’id wa Fawâ-id minal Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nâzhim Muhammad Sulthân.
15. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn.
16. Shahîh Jâmi’ush Shaghîr, karya Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni.
17. Silsilah Al-Ahâdîts Ash-Shahîhah, karya Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albâny.
18. Dan kitab-kitab hadits lainnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIII/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/179
[2]. Majmû’ Fatâwâ X/641
[3]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/180
[4]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/180-181
[5]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/181
[6]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/182
[7]. Hasan: HR. at-Tirmidzi no. 3502, al-Hâkim I/528, dan Ibnus Sunni no. 446
[8]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/182-183
[9]. Hilyatul Auliyâ' VIII/261, no. 12127
[10]. Qûtul Qulûb III/135. Dinukil dari Qawâ’id wa Fawâ-id, hlm. 268
[11]. Hadits shahîh: Diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah no. 224, dari Sahabat Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr no. 3913. Diriwayatkan pula oleh Imam-imam ahli hadits lainnya dari beberapa Sahabat seperti ‘Ali, Ibnu ‘Abbâs, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ûd, Abu Sa’id al-Khudri, dan al-Husain bin ‘Ali Radhiyallahu anhum.
[12]. Hadits shahîh: Diriwayatkan oleh Ahmad V/196, Abu Dâwud no. 3641, at-Tirmidzi no. 2682, Ibnu Mâjah no. 223, dan Ibnu Hibbân no. 80—al-Mawârid), lafazh ini milik Ahmad, dari Sahabat Abu Dardâ’ Radhiyallahu anhu.
[13]. Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 2072 dari Sahabat al-Miqdâm Radhiyallahu anhu.
[14]. Hadits shahîh: Diriwayatkan oleh Ahmad I/378, 424, 425, 432, al-Bukhâri no. 1905, 5065, 5066, Muslim no. 1400 dan ini lafazhnya, at-Tirmidzi no. 1081, an-Nasâ-i VI/56, 57, Ibnu Mâjah no. 1845, ad-Dârimi II/132, dan al-Baihaqi VII/ 77 dari Sahabat ‘Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu 
[15]. Shahîh: HR. Muslim no. 2957
[16]. Shahîh: HR. Muslim no. 2858 dan Ibnu Hibbân no. 4315-At-Ta’lîqâtul Hisân dari al-Mustaurid al-Fihri.
[17]. Shahîh: HR. at-Tirmidzi no. 2320 dan Ibnu Mâjah no. 4110 dari Sahl bin Sa’d Radhiyallahu anhu.
[18]. Shahîh: HR. Muslim no. 2742 (99), dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri.
[19]. Shahîh: HR. Ahmad III/128, 199, 285, an-Nasâ`i VII/61, 62, Isyratun Nisâ' no.1, al-Hâkim II/160, dan al-Baihaqi VII/78 dari Anas bin Mâlik. Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr no. 3124
[20]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/193
[21]. Hasan: HR. at-Tirmidzi no. 2322 dan Ibnu Mâjah no. 4112 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[22]. Atsar Shahîh: Diriwayatkan oleh ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr no. 8502, al-Hâkim II/294, Ibnu Jarîr dalam Tafsîr-nya III/375-376, dan Ibnu Katsîr dalam Tafsîr-nya II/87
[23]. Shahîh: HR. Muslim no. 2858 dan Ibnu Hibbân no. 4315 – at-Ta’lîqâtul Hisân- dari al-Mustaurid al-Fihri.
[24]. Shahîh: HR. Ahmad V/183, Ibnu Mâjah no. 4105, dan Ibnu Hibbân no. 72-Mawâriduzh Zham-ân) dari Sahabat Zaid bin Tsâbit z . Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah no. 950)
[25]. Hasan: HR. al-Hâkim IV/324-325, dan al-Baihaqi dalam Syu’abul Iimân no. 10058 dishahîhkan oleh al-Hâkim dan disepakati adz-Dzahabi. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilah ash-Shahîhah no. 831 dan beliau menyebutkan tiga jalan periwayatan; dari ‘Ali, Sahl, dan Jâbir Radhiyallahu anhu. 
[26]. Qawâ’id wa Fawâ-id hlm. 271
[27]. Shahîh: HR. Ibnu Hibbân no. 277-At-Ta’lîqâtul Hisân, Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ' VIII/202, no. 11878, dan selainnya. Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr no. 6010
[28]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/204-205
[29]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/206

0 comments:

Post a Comment