Kebodohan adalah salah satu sebab utama seseorang terjerumus ke dalam kemaksiatan dan kefasikan, bahkan ke dalam kemusyrikan atau kekafiran.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:“Kebaikan anak Adam adalah dengan iman dan amal shalih, dan tidaklah mengeluarkan mereka dari kebaikan, kecuali dua perkara:
Pertama: Kebodohan, kebalikan dari ilmu, sehingga orang-orangnya akan menjadi sesat.
Kedua: Mengikuti hawa-nafsu dan syahwat, yang keduanya ada di dalam jiwa. Sehingga orang-orang akan mengikuti hawa-nafsu dan dimurkai (oleh Allah)”. (Majmu’ Fatawa 15/242)
Demikian juga orang-orang yang beribadah kepada Allah dengan kebodohan, maka sesungguhnya mereka lebih banyak merusak daripada membangun! Sebagaimana dikatakan oleh sebagian Salafush Shalih:
Barangsiapa beribadah kepada Allah dengan kebodohan, dia telah membuat kerusakan lebih banyak daripada membuat kebaikan. (Majmu’ Fatawa 25/281)
KEWAJIBAN MENUNTUT ILMU
Oleh karena bahaya penyakit kebodohan yang begitu besar, maka agama memberikan resep obat untuk menghilangkan penyakit tersebut. Yaitu mewajibkan para pemeluknya untuk menuntut ilmu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
"Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim." [HR. Ibnu Majah, no:224, dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani di dalam Shahih Ibni Majah]
Demikian juga Alloh Ta’ala memerintahkan kepada umat untuk bertanya kepada ulama mereka. Firman Alloh:
"Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui." (QS. 21:7)
YANG DIMAKSUD DENGAN ILMU
Yang dimaksudkan ilmu di sini adalah ilmu syar’i, ilmu yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya, dan diwariskan kepada para ulama pewaris para Nabi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa meniti satu jalan untuk mencari ilmu, niscaya –dengan hal itu- Allah jalankan dia di atas jalan di antara jalan-jalan sorga. Dan sesungguhnya para malaikat membentangkan sayap-sayap mereka karena ridha terhadap thalibul ilmi (pencari ilmu agama). Dan sesungguhnya seorang ‘alim itu dimintakan ampun oleh siapa saja yang ada di langit dan di bumi, dan oleh ikan-ikan di dalam air. Dan sesungguhnya keutamaan seorang ‘alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan purnama daripada seluruh bintang-bintang. Dan sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Para Nabi itu tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mewariskan ilmu. Baramngsiapa yang mengambilnya maka dia telah mengambil bagian yang banyak." [HR. Abu Dawud no:3641, dan ini lafazhnya; Tirmidzi no:3641; Ibnu Majah no: 223; Ahmad 4/196; Darimi no: 1/98. Dihasankan Syeikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin 2/470, hadits no: 1388]
Marilah kita perhatikan hadits yang agung ini. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan keutamaan menuntut ilmu pada awal kalimat, dan keutamaan ‘alim (orang yang berilmu) pada pertengahan kalimat, lalu pada akhir kalimat beliau n menjelaskan bahwa ilmu yang dimaksudkan adalah ilmu yang diwariskan para Nabi, yaitu ilmu agama yang haq!
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata:
“Telah diketahui bahwa ilmu yang diwariskan oleh para Nabi adalah ilmu syari’at Allah ‘Azza wa Jalla, bukan lainnya. Sehinga para Nabi tidaklah mewariskan ilmu tekhnologi dan yang berkaitan dengannya kepada manusia." [Kitabul ilmi, hal: 11, karya Syeikh Al-Utsaimin]
Ini bukan berarti bahwa ilmu dunia itu terlarang atau tidak berfaedah. Bahkan ilmu dunia yang dibutuhkan oleh umat juga perlu dipelajari dengan niat yang baik.
Beliau juga berkata:
“Yang kami maksudkan adalah ilmu syar’i, yaitu: ilmu yang yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya, yang berupa penjelasan-penjelasan dan petunjuk. Maka ilmu yang mendapatkan pujian dan sanjungan hanyalah ilmu wahyu, ilmu yang diturunkan oleh Allah”. [Kitabul ilmi, hal: 11, karya Syeikh Al-Utsaimin]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
"Semoga Allah mengelokkan wajah seseorang yang telah mendengar perkataanku, lalu dia menyampaikannya. Terkadang orang yang membawa fiqih (ilmu; pemahaman; hadits Nabi) bukanlah ahli fiqih. Terkadang orang yang membawa fiqih membawa kepada orang yang lebih fiqih (faham) darinya." [HR. Ibnu Majah no:230, dan ini lafazhnya; Ahmad 5/183; Abu Dawud no: 3660; dan lainnya]
Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata:
“Beliau n menamakan perkataan beliau dengan nama ilmu, bagi orang yang merenungkan dan memahaminya”. [Jami’ Bayanil Ilmi Wa Fadhlihi]
Oleh karena itulah wahai saudara-saudaraku yang tercinta, istilah ilmu tidaklah dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya kecuali terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, atau kesepakatan seluruh umat terhadap suatu perkara yang menghilangkan perselisihan, dan apa-apa yang dapat mendekatkan kepadanya. [Diambil dari perkataan Syeikh Salim Al-Hilali di dalam kitab Bahjatun Nazhirin 2/461]
Inilah kewajiban kita, kaum muslimin, baik terpelajar atau awam. Kita wajib mengetahui dan memahami apa-apa yang diperintahkan oleh Allah dan apa-apa yang Dia larang.
KEUTAMAAN MENUNTUT ILMU
Sesungguhnya keutamaan menuntut ilmu sangat banyak, di sini cukuplah kami sebutkan beberapa faedah dari hadits di atas yang telah kami sampaikan:
- Allah memudahkan jalan ke sorga bagi orang yang menuntut ilmu.
- Malaikat membentangkan sayap-sayap mereka karena ridha terhadap thalibul ilmi.
- Seorang ‘alim dimintakan ampun oleh siapa saja yang ada di langit dan di bumi, dan oleh ikan-ikan di dalam air.
- Keutamaan seorang ‘alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan purnama daripada seluruh bintang-bintang.
- Para ulama itu pewaris para Nabi.
Semoga Alloh memberikan semangat kepada kita semua untuk menuntut ilmu agama dan mengamalkannya, sehingga meraih kesuksesan di dunia dan akhirat.
BAHAYA BICARA AGAMA TANPA ILMU
"Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim." [HR. Ibnu Majah no:224, dan lainnya dari Anas bin Malik. Dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani]
Dan agama adalah apa yang telah difirmankan oleh Alloh di dalam kitabNya, Al-Qur’anul Karim, dan disabdakan oleh RosulNya di dalam Sunnahnya. Oleh karena itulah termasuk kesalahan yang sangat berbahaya adalah berbicara masalah agama tanpa ilmu dari Alloh dan RosulNya.
Sebagai nasehat sesama umat Islam, di sini kami sampaikan di antara bahaya berbicara masalah agama tanpa ilmu:
1. Hal itu merupakan perkara tertinggi yang diharamkan oleh Allah.
Alloh Ta’ala berfirman:
"Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu)”." (Al-A’raf:33)
Syeikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baaz rohimahulloh berkata: “Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk perkara terbesar yang diharamkan oleh Allah, bahkan hal itu disebutkan lebih tinggi daripada kedudukan syirik. Karena di dalam ayat tersebut Alloh mengurutkan perkara-perkara yang diharamkan mulai yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
Dan berbicara tentang Alloh tanpa ilmu meliputi: berbicara (tanpa ilmu) tentang hukum-hukumNya, syari’atNya, dan agamaNya. Termasuk berbicara tentang nama-namaNya dan sifat-sifatNya, yang hal ini lebih besar daripada berbicara (tanpa ilmu) tentang syari’atNya, dan agamaNya.” [Catatan kaki kitab At-Tanbihat Al-Lathifah ‘Ala Ma Ihtawat ‘alaihi Al-‘aqidah Al-Wasithiyah, hal: 34, tahqiq Syeikh Ali bin Hasan, penerbit:Dar Ibnil Qayyim]
2. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk dusta atas (nama) Allah.
Allah Ta’ala berfirman:
"Dan janganlah kamu mengatakan terhadapa apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung." (QS. An-Nahl (16): 116)
3. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan kesesatan dan menyesatkan orang lain.
Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda:
"Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hambaNya sekaligus, tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan seorang ‘alim-pun, orang-orang-pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Lalu para pemimpin itu ditanya, kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan orang lain." (HR. Bukhari no:100, Muslim, dan lainnya)
Hadits ini menunjukkan bahwa
“Barangsiapa tidak berilmu dan menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan tanpa ilmu, dan mengqias (membandingkan) dengan akalnya, sehingga mengharamkan apa yang Alloh halalkan dengan kebodohan, dan menghalalkan apa yang Allah haramkan dengan tanpa dia ketahui, maka inilah orang yang mengqias dengan akalnya, sehingga dia sesat dan menyesatkan." (Shahih Jami’il Ilmi Wa Fadhlihi, hal: 415, karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, diringkas oleh Syeikh Abul Asybal Az-Zuhairi)
4. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mengikuti hawa-nafsu.
Imam Ali bin Abil ‘Izzi Al-Hanafi rohimahulloh berkata: “Barangsiapa berbicara tanpa ilmu, maka sesungguhnya dia hanyalah mengikuti hawa-nafsunya, dan Allah telah berfirman:
"Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun." (Al-Qashshash:50)” (Kitab Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393)
5. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mendahului Allah dan RasulNya.
Allah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Hujuraat: 1)
Syeikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rohimahulloh berkata: “Ayat ini memuat adab terhadap Alloh dan RosulNya, juga pengagungan, penghormatan, dan pemuliaan kepadanya. Alloh telah memerintahkan kepada para hambaNya yang beriman, dengan konsekwensi keimanan terhadap Alloh dan RosulNya, yaitu: menjalankan perintah-perintah Alloh dan menjauhi larangan-laranganNya. Dan agar mereka selalu berjalan mengikuti perintah Alloh dan Sunnah RosulNya di dalam seluruh perkara mereka. Dan agar mereka tidak mendahului Alloh dan RosulNya, sehingga janganlah mereka berkata, sampai Alloh berkata, dan janganlah mereka memerintah, sampai Alloh memerintah”. (Tafsir Karimir Rahman, surat Al-Hujurat:1)
6. Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu menanggung dosa-dosa orang-orang yang dia sesatkan.
Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu adalah orang sesat dan mengajak kepada kesesatan, oleh karena itu dia menanggung dosa-dosa orang-orang yang telah dia sesatkan. Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam:
"Barangsiapa menyeru kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa sebagaimana dosa-dosa orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa mereka sedikitpun." (HR. Muslim no:2674, dari Abu Hurairah)
7. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu akan dimintai tanggung-jawab.
Alloh Ta’ala berfirman:
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya." (QS. Al-Isra’ : 36)
Setelah menyebutkan pendapat para Salaf tentang ayat ini, imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata:
“Kesimpulan penjelasan yang mereka sebutkan adalah: bahwa Alloh Ta’ala melarang berbicara tanpa ilmu, yaitu (berbicara) hanya dengan persangkaan yang merupakan perkiraan dan khayalan.” (Tafsir Al-Qur’anul Azhim, surat Al-Isra’:36)
8. Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan.
Syeikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami t menyatakan: “Fashal: Tentang Haramnya berbicara tentang Allah tanpa ilmu, dan haramnya berfatwa tentang agama Allah dengan apa yang menyelisihi nash-nash”. Kemudian beliau membawakan sejumlah ayat Al-Qur’an, di antaranya adalah firman Allah di bawah ini:
"Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (QS. 5:44)
9. Berbicara agama tanpa ilmu menyelisihi jalan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rohimahulloh menyatakan di dalam aqidah Thahawiyahnya yang masyhur:
“Dan kami berkata: “Wallahu A’lam (Allah Yang Mengetahui)”, terhadap perkara-perkara yang ilmunya samar bagi kami”. [Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393]
10. Berbicara agama tanpa ilmu merupakan perintah syaithan.
Allah berfirman:
"Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan kepada Allah apa yang tidak kamu ketahui." (QS. 2:169)
Keterangan ini kami akhiri dengan nasehat: barangsiapa yang ingin bebicara masalah agama hendaklah dia belajar lebih dahulu. Kemudian hendaklah dia hanya berbicara berdasarkan ilmu. Wallohu a’lam bish showwab. Al-hamdulillah Rabbil ‘alamin.
EMPAT PERKARA YANG WAJIB ANDA KETAHUI
1. Ilmu, yaitu mengetahui al-haq (kebenaran).
2. Amal, yaitu mengamalkan al-haq.
3. Dakwah, yaitu mengajak orang lain untuk mengamalkan al-haq.
4. Sabar, yaitu tabah di dalam meraih dan menjalankan hal-hal di atas.
Dalil kewajiban yang empat di atas adalah firman Allah Ta’ala dalam surat Al-‘Ashr:
"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, dan mengerjakan amal saleh, dan nasehat- menasehati supaya mentaati kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran." (QS. 103: 1-3)
Imam Ibnul Qoyyim menyebutkan surat ini di dalam Miftah Darus Sa’adah 1/56, lalu berkata: “Imam As-Syafi’i berkata: “Seandainya semua manusia memikirkan apa yang ada di dalam surat ini, sesungguhnya surat ini mencukupi mereka”.
Penjelasannya adalah bahwa martabat itu ada ada empat, dengan sempurna keempatnya, seseorang mendapatkan puncak kesempurnaannya.
Pertama: Mengenal al-haq,
Kedua: Mengamalkannya,
Ketiga: Mengajarkannya kepada orang yang belum mendapatkannya,
Keempat: Kesabarannya di dalam mempelajarinya, mengamalkannya, dan mengajarkannya.
Alloh Ta’ala menyebutkan empat martabat di dalam surat ini, dan Dia bersumpah dengan masa, bahwa seluruh manusia benar-benar berada dalam kerugian, ((kecuali orang-orang yang beriman)) yaitu orang-orang yang mengenal al-haq dan membenarkannya, ini satu martabat, ((dan mengerjakan amal saleh)), yaitu orang-orang yang mengamalkan al-haq yang telah mereka ketahui, ini martabat yang lain, ((dan nasehat- menasehati supaya mentaati kebenaran)), sebagian mereka menasehati yang lain, dengan mengajar dan membimbing, ini martabat ketiga, ((dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran)) mereka bersabar di atas al-haq, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran, ini martabat keempat. Inilah puncak kesempurnaan, yaitu seseorang sempurna pada dirinya, dan menyempurnakan orang lain.” (Dinukil dari Taisirul Wushul ilaa Nailil Ma’muul, hal: 16, karya Syaikh Nu’man bin Abdul Karim Al-Watr)
Kewajiban Berilmu:
Imam Bukhori berkata: “Bab: Ilmu sebelum perkataan dan perbuatan, berdasarkan firman Alloh Ta’ala:
"Maka ketahuilah, bahwa tidak ada Ilah (Yang Haq) selain Allah." (QS. 47:19)
"Maka Dia (Alloh) memulai dengan ilmu”. (Shohih Bukhori, kitab Al-Ilmu)
Imam Ibnul Munayyir menjelaskan perkataan Imam Al-Bukhori di atas dengan perkataan:
“Beliau menghendaki bahwa ilmu merupakan syarat sahnya perkataan dan perbuatan, sehingga keduanya tidak dianggap kecuali dengannya (ilmu). Sehingga ilmu itu mendahului keduanya, karena ilmu akan membenarkan niat yang akan membenarkan terhadap amalan (perbuatan). Imam Al-Bukhori mengingatkan hal itu, supaya peremehan terhadap ilmu dan menyepelekan di dalam menuntut ilmu tidak mendahului masuk ke dalam fikiran, dari perkataan mereka (ulama-pen), bahwa ilmu tidak bermanfaat kecuali dengan amalan”. (Fathul Bari karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqolani)
Dan perlu diketahui bahwa keutamaan ilmu agama sangat banyak sekali, di antaranya adalah sabda Nabi:
"Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Alloh, Dia menjadikannya faham terhadap agama." (HR. Bukhori, no: 71)
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata pada syarh (penjelasan) hadits ini: “Dan pengertian hadits ini bahwa orang yang tidak mencari pemahaman dalam agama, yaitu tidak mempelajari kaedah-kaedah Islam dan perkara-perkara cabang yang berkaitan dengannya, dia telah dihalangi dari kebaikan.…Dalam hal ini terdapat penjelasan yang nyata tentang keutamaan ulama di atas seluruh manusia, dan keutamaan tafaqquh fid diin (mendalami agama Islam) daripada seluruh ilmu-ilmu (lainnya)”.
Dan ilmu yang paling penting adalah: mengenal Alloh sehingga menghasilkan kecintaan kepadaNya, rasa takut terhadap siksaNya, mengharapkan rohmatNya, dan mengesakanNya dengan peribadahan. Kemudian mengenal rosulNya, Nabi Muhammad sholallhu ‘alaihi was salam, sehingga menghasilkan kecintaan kepada beliau, mengikuti petunjuk beliau lahir dan batin, mencukupkan Sunnah/ajaran beliau, dan meninggalkan segala perkar abaru dalam agama. Demikian juga mengenal agamaNya, sehingga seseorang dapat beribadah kepada Alloh dengan dasar ilmu.
Kewajiban Beramal:
Orang yang telah mengetahui al-haq, agama Islam, dia wajib mengamalkan. Amal adalah buah dari ilmu. Alloh Ta’ala sering menggabungkan antara amal sholih dengan iman. Dan Dia mencela orang-orang yang mengatakan apa yang tidak mereka lakukan. Alloh Ta’ala berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan." (QS. 61: 2-3)
Maka wajib mengamalkan ilmu yang telah dimiliki: tentang menegakkan sholat, tentang membayar zakat, tentang menunaikan amanah, dan sebagainya.
Dengan ilmu dan amal seseorang berusaha menyempurnakan dirinya. Kemudian setelah itu dia berkewajiban berusaha menyempurnakan orang lain dengan cara berdakwah.
Kewajiban Berdakwah:
Mengajak manusia menuju agama Alloh merupakan salah ibadah yang terbesar, manfaatnya akan mengenai orang lain. Dan dakwah menuju agama Alloh merupakan tugas para nabi, maka cukuplah sebagai kemuliaan bahwa para dai mengemban tugas para nabi.
"Katakanlah, “Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. 12:108)
Karena dakwah merupakan ibadah, maka harus dilakukan dengan keikhlasan dan mengikuti Sunnah nabi.
Seorang dai harus memurnikan niatnya untuk mengajak kepada agama Alloh semata-mata mencari ridhoNya. Bukan mengajak kepada dirinya sendiri, kelompoknya, atau pendapat dan fikirannya. Dan tidak dengan niat untuk mengumpulkan harta, meraih jabatan, mencari suara, atau tujuan dunia lainnya.
Demikian juga mengikuti Sunnah Nabi, sehingga berdakwah berdasarkan ilmu, mendahulukan aqidah, dilakukan dengan hikmah, dengan kesabaran, dan lainnya. Tidak berdakwah dengan maksiat dan bid’ah.
Kewajiban Bersabar:
Yaitu bersabar di dalam menuntut ilmu, mengamalkannya, dan mendakwahkannya. Karena tanpa kesabaran semua hal di atas mustahil akan tetap istiqomah. Luqman memberikan wasiat kepada anaknya sebagai berikut:
"Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)." (QS. 31:17)
Banyak sekali dalil yang menunjukkan keutamaan kesabaran, antara lain firman Alloh:
"Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru menuju Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri” (QS. 41:33)
"Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia." (QS. 41:34)
"Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar." (QS. 41:35)
Maka barangsiapa menyempurnakan dirinya dengan empat kewajiban di atas, maka dia menyempurnakan dirinya dan orang lain, dan dia termasuk orang-orang yang beruntung. Al-hamdulillah Roobil ‘alamiin.
0 comments:
Post a Comment