Peradaban di dunia ini telah banyak menciptakan undang-undang yang bertujuan menjaga kehormatan seseorang. Tetapi semuanya masih belum mencapai tingkat kesempurnaan karena kurang teliti dalam menyelami seluk beluk jiwa manusia. Undang-undang tersebut kurang dapat menjaga kehormatan dan hak-hak manusia, tidak sebagaimana norma-norma etik yang telah disyariatkan agama Islam.
Suatu kenyataan yang tak dapat dipungkiri lagi, bahwa menjaga kehormatan ini adalah hal yang terpenting untuk menjaga kesatuan dalam tubuh masyarakat. Dan sebaliknya menghina kehormatan atau martabat orang lain akan bisa menimbulkan rasa saling membenci, perpecahan dan hilangnya rasa gotong-royong. Oleh karena itu, Islam menganggap bahwa setiap hal yang menyentuh kehormatan orang lain termasuk perbuatan dosa yang harus dijauhi oleh orang-orang yang beriman. Di antara hal-hal yang masuk dalam kategori menghina martabat orang lain ialah : menghina orang lain, menuduh dan memberi julukan yang dibenci olehnya, jelek sangkaan, mengintai dan membicarakan perihal orang lain di kala orang tersebut tidak ada.
Semua dosa-dosa tersebut telah dituturkan oleh Al-Qur’an yang pada permulaannya mengingatkan bahwa orang-orang mukmin semuanya adalah bersaudara. Ikatan keimanan yang mempersatukan mereka sama saja dengan ikatan nasab kekeluargaan. Oleh karenanya, Islam melarang seseorang melukai kehormatan saudaranya, baik secara langsung ataupun tidak. Allah telah berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-seburuk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman, dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjingkan sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. 49 : 9 – 12).
Ayat-ayat tadi, secara tegas dan gamblang melarang kaum muslimin berbuat dosa-dosa sebagai berikut :
Menghina atau mengolok-olok
Allah melarang suatu golongan mengolok-olok golongan lainnya. Perbuatan ini amatlah dicela karena timbul dari rasa kagum terhadap diri sendiri yang sekaligus menghina orang lain. Sifat ini akan dapat mengakibatkan hal-hal yang bisa menimbulkan permusuhan antara teman.
Sesudah Al-Qur’an melarang kaum muslimin saling olok-mengolok antara sesama mereka, lalu Al-Qur’an dengan khusus menganjurkan kepada kaum wanita agar jangan berbuat seperti itu. Karena, pada dasarnya perbuatan saling olok-mengolok sering terjadi di kalangan kaum wanita. Pada permulaannya, larangan ini ditujukan kepada segenap warga masyarakat, tetapi yang terakhir khusus ditujukan kepada wanita mengingat hal yang telah kami sebut tadi.
Al-Qur’an Al-Karim menjelaskan maslaah olok-mengolok ini yang pada prinsipnya ialah menghina kehormatan orang lain. Bagaimana bisa terjadi masalah olok-mengolok ini antara sesama kaum muslimin? Padahal belum tentu yang dihina itu kadang-kadang lebih utama dan lebih mulia di sisi Allah dibanding orang yang menghina itu sendiri.
Norma-norma yang dipakai oleh kalangan lelaki dan kalangan wanita, pada hakekatnya adalah serupa dengan fatamorgana yang sering menipu pandangan mata atau orang-orang yang berpikiran dangkal. Bisa saja terjadi orang yang cantik menghina orang yang jelek, yang kaya menghina yang miskin dan yang muda menghina yang tua, tetapi norma-norma semacam ini bukanlah hakikat yang sebenarnya. Selain dari itu norma-norma tersebut bukanlah indikasi bagi ukuran terhormat atau tidaknya seseorang. Adapun norma-norma yang sebenarnya dan yang dijadikan indikasi dalam merendahkan dan meninggikan derajat seseorang adalah norma-norma yang ada dalam jiwa seseorang, dan takkan bisa dilihat kecuali oleh Allah SWT.
Mencela orang lain
Allah SWT, melarang kaum mukminin saling cela-mencela antara sesama mereka. Hal itu dinyatakan oleh-Nya setelah mengawali ayat bahwa mereka adalah saudara. Apabila seseorang mencela saudaranya, berarti ia mencela dirinya sendiri. Demikianlah apa yang dimaksud oleh firman Allah : “Janganlah kamu mencela dirimu sendiri”, sengaja dalam ungkapan ini Allah memakai gaya bahasa yang halus agar dapat dirasakan oleh kaum muslimin, dan agar mereka mau menyadari bahwa antara sesama muslim adalah saudara. Antara saudara harus bersatu dan saling menjaga kehormatan masing-masing, dan harus mawas diri terhadap segala upaya yang menghendaki perpecahan.
Perbuatan mencela orang lain sudah merupakan ciri khas zaman sekarang. Anda tentu pernah membaca di beberapa surat kabar, seorang tokoh politik mencela tokoh lainnya dan semua orang-orang yang mendukungnya. Tiada lain, maksud yang terkandung dalam hatinya ialah ingin memperoleh ketenaran dengan menjelek-jelekkan orang lain. Dan ada sebagian orang lagi menggunakan “sarana” mencela orang lain hanyalah untuk melampiaskan rasa dendamnya yang sudah mematri dalam hatinya terhadap orang yang dicela.
Demikianlah kenyataannya sekarang, perbuatan mencela orang lain merupakan penyakit masyarakat yang sudah membudaya. Orang-orang banyak yang melakukan perbuatan itu, mereka tak pernah menggubris larangan Allah terhadap perbuatan yang berdosa ini.
Selain itu Allah melarang kaum muslimin menggunakan nama-nama julukan dalam panggil-memanggil antara sesama mereka.
Terlebih lagi jika julukan itu tidak disukai oleh orang yang bersangkutan. Barang siapa yang melakukan hal-hal tersebut, dianggap oleh Allah sebagai orang fasik. Orang fasik ialah orang yang tidak taat kepada Allah. Seseorang yang benar-benar beriman akan merasa jijik apabila dirinya dinamakan fasik sesudah ia beriman kepada Allah. Setelah itu Allah mengakhiri isi ayat dengan firman-Nya :
“Barang siapa yang tidak mau bertaubat, mereka itulah orang-orang yang zalim”. Dan balasan bagi orang-orang yang berbuat zalim ialah siksa Allah di dunia maupun di akhirat.
Jelek prasangka (Prasangka Buruk)
Allah memerintahkan agar kaum muslimin menjauhi sangkaan-sangkaan yang jelek. Seorang yang beriman janganlah membiarkan dirinya menjadi ladang yang subur bagi bibit-bibit dan tunas-tunas yang bisa menumbuhkan rasa jelek prasangka terhadap orang lain. Untuk itu Al-Qur’an memberikan penjelasannya mengenai hal ini :
“Sesungguhnya sebagian dari sangkaan itu berdosa”. Ulasan Al-Qur’an ini memberikan isyarat pada kita agar menjauhkan prasangka yang jelek. Sehingga seseorang yang belum merasa jelas jenis prasangka mana yang bisa mengakibatkan dosa, dapat mengerti.
Dengan dicanangkannya peraturan ini, berarti Islam menghendaki agar jiwa seorang mukmin bersih dari jelek prasangka. Karena buruk prasangka ini adalah suatu hal yang dapat mengakibatkan seseorang terjerumus ke dalam perbuatan yang berdosa.
Mencari-cari kesalahan orang lain
Allah juga melarang orang-orang mukmin melakukan hal ini. Karena perbuatan ini merupakan rentetan dari jelek prasangka. Tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain) adalah suatu perbuatan yang didorong oleh rasa ingin tahu aib orang lain. Oleh karenanya, Al-Qur’an melarang perbuatan ini. Setiap orang memiliki kebebasannya masing-masing dan memiliki kehormatannya yang tak boleh diganggu dalam kondisi apapun. Kita boleh menilai seseorang dari apa yang kita lihat lahirnya saja.
Adapun masalah batin kita tidak boleh diganggugugat, karena itu adalah kehormatan pribadinya. Dan kita tidak diperbolehkan pula menghukum seseorang, kecuali hanya apabila ia melanggar ketentuan-ketentuan yang telah ada, dan jelas bukti-buktinya disaksikan secara lahiriyah oleh orang banyak.
Adapun perihal yang dilakukan oleh pemerintah tentang menyebarkan mata-mata guna mendeteksi gerak-gerik orang yang suka merusak, maka perbuatan ini bukanlah termasuk dari sesuatu yang dilarang oleh Allah.
Karena tidak sekali-kali pemerintah melakukan hal ini hanyalah karena untuk menolak jangan sampai terjadi kerusakan atau kerusuhan. Dan manfaatnya tentu saja akan dirasakan oleh seluruh masyarakat. Hal ini diperbolehkan selagi masih berada dalam batas-batas yang menghargai kehormatan rakyat.
Mengumpat
Dan yang terakhir, Allah melarang kaum mukminin melakukan pekerjaan mengumpat.
Pengertian mengumpat ialah, seseorang menuturkan sesuatu yang kurang disenangi yang berkaitan dengan pribadi temannya. Penuturannya itu bisa secara blak-blakan ataupun secara sindiran; baik yang dituturkannya itu bertalian dengan masalah agamanya atau kepribadiannya, semuanya sama saja. Perlu diperhatikan, pengertian mengumpat bukan saja ketika orang yang bersangkutan tidak ada, tetapi bisa juga ketika ia berada di depan orang yang membicarakannya. Hal ini pun masuk dalam pengertian mengumpat.
Rasulullah dalam menanggapi masalah mengumpat ini memberikan penjelasan dalam salah satu sabdanya :
اتدرون ما الغيبة؟ قالوا : الله ورسوله أعلم, قال : ذكرك أخاك بما يكره, قيل : افرايت لوكان فى اخى ما أقول, قال ان كان فيه ما تقول فقد اغتبته, وان لم يكن فيه ما تقول بهته اى قلت فيه كذبا وبهتانا
“Apakah kamu tahu artinya ghibah (mengumpat)?”. Para sahabat menjawab : “Allah dan Rasul lebih mengetahui hal itu.” Kemudian Nabi SAW bersabda : “Engkau menuturkan perihal saudaramu yang tidak ia senangi”. Salah seorang sahabat menanyakan : “Barangsiapa jika yang kututurkan mengenai saudaraku itu benar-benar?”. Beliau menjawab : “Apabila apa yang kau tuturkanitubenar, berarti engkau telah membicarakannya (mengumpatnya), dan apabila apa yang kau tuturkan itu sebaliknya, maka engkau telah berkata bohong mengenai dirinya.( Hadits riwayat Muslim, Abu Daud, Turmudzi dan An Nasa’i)”
Selain itu Al-Qur’an memberikan perumpamaan kepada kita mengenai perbuatan mengumpat ini. Perumpamaannya sama saja dengan memakan daging saudara yang sudah mati. Untuk itu Allah telah berfirman : “Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya”. (QS. 49 : 12).
Adapun perihal orang-orang yang terang-terangan berbuat syirik atau orang-orang yang mendekati perbuatan maksiat, maka membicarakannya tidak dilarang oleh agama, apabila berniat untuk menegurnya dan menyadarkannya.
Perbuatan mengumpat adalah perbuatan yang paling jelek dan dapat mengeruhkan keintiman persahabatan. Karena rasa persahabatan ini hanya bisa dipupuk dengan saling mempercayai yang timbul dari hati yang ikhlas, kemudian dipraktekkan dalam bentuk saling menghormati, bermuka ramah dan berkata jujur. Adapun perbuatan mengatakan perihal orang lain sewaktu ia tidak ada dan perkataannya itu menyinggung kehormatannya, maka hal ini akan dapat mengeruhkan keintiman persahabatan.
Kemudian Allah mengakhiri ayat yang menuturkan hal ini dengan firman-Nya : “Bertakwalah kamu kepada Allah, karena sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Pengasih”. (QS. 49 : 12).
Ayat tersebut memberi pengertian bahwa siapa saja yang takut kepada Allah kemudian meninggalkan apa yang telah dilarang-Nya dan berjanji tidak mau melakukannya lagi, maka pintu taubat masih terbuka untuk mereka.
Dengan demikian maka jelaslah bagi kita betapa pentingnya peranan Islam dalam mendidik kaum muslimin agar berakhlak yang luhur, dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela tadi. Islam menghendaki agar kaum muslimin berada dalam naungan persaudaraan yang dipenuhi dengan rasa kasih sayang dan saling mempercayai antara sesama mereka.
0 comments:
Post a Comment