مَنْ سَبَقَ إِلَى الْمُبَاحَاتِ فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا
Barangsiapa Lebih Dahulu (Menemukan Atau Mendapatkan) Yang Mubahat Maka Dia Yang Lebih Berhak Atas Perkara Tersebut
Kaidah yang mulia ini menjelaskan bahwa siapa saja yang terlebih menemukan atau mendapatkan yang mubahat, maka dia lebih berhak untuk mendapatkan atau memanfaatkannya. Mubâhât maksudnya segala yang tidak ada hak kepemilikan secara khusus atasnya, baik berupa tanah, tempat tertentu, tanaman yang tumbuh di bumi atau yang lainnya.
Dalil yang menunjukkan keabsahan kaidah ini yaitu hadits yang diriwayatkan dari Asmar bin Mudharris Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ سَبَقَ إِلَى مَا لَمْ يَسْبِقْ إِلَيْهِ مُسْلِمٌ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ
Barangsiapa lebih dahulu sampai kepada suatu perkara daripada orang muslim lainnya, maka dia yang lebih berhak atas sesuatu tersebut.[1]
Juga hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ عَمَّرَ أَرْضًا لَيْسَتْ لِأَحَدٍ فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا
Barangsiapa mengelola tanah yang tidak dimiliki siapa pun, maka ia lebih berhak terhadap tanah itu.[2]
Hadits ini menjelaskan bahwa seseorang yang lebih dahulu mendapatkan dan mengelola tanah yang tidak bertuan, maka dia yang lebih berhak untuk memiliki dan memanfaatkan tanah itu. Kemudian perkara mubâhât lainnya diqiyaskan dan dihukumi sama seperti tanah yang disebutkan dalam hadits diatas.
Adapun implementasi kaidah ini, dapat diketahui dari contoh-contoh berikut :
1. Berkaitan dengan pengairan sawah dari air sungai. Apabila para pemilik sawah berselisih tentang sawah manakah yang paling didahulukan untuk mendapatkan pengairan dari sungai tersebut. Maka dalam hal ini yang paling didahulukan adalah sawah yang posisinya paling tinggi, karena biasanya posisinya lebih dekat dengan suangi. Setelah sawah tersebut dialiri air dan telah cukup maka barulah dialirkan ke sawah di bawahnya.
2. Berkaitan dengan hewan buruan, baik di darat maupun di laut. Siapa saja yang lebih dahulu menangkapnya atau senjatanya lebih dahulu mengenainya maka dia yang lebih berhak untuk memiliki hewan tersebut. Adapun sebatas melihat hewan tersebut, maka kepemilikannya belum bisa ditentukan. Demikian pula keberadaan kayu di hutan, rerumputan yang ada di padang rumput, barangsiapa lebih dahulu sampai kepadanya maka dia lah yang lebih berhak mendapatkannya.
3. Berkaitan dengan tempat-tempat yang disediakan untuk kepentingan umum, seperti masjid atau selainnya. Tidak boleh seseorang menyuruh orang lain untuk berdiri dari tempat duduknya kemudian ia duduk di tempat orang tersebut. Misalnya Ahmad sedang duduk di suatu tempat di masjid mendengarkan pengajian. Kemudian Zaid datang dan menyuruh Ahmad berdiri, kemudian Zaid duduk di tempat tersebut. Maka seperti ini tidak diperbolehkan. Karena Ahmad lebih dahulu sampai di tempat tersebut sehingga dia yang lebih berhak untuk duduk di sana.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma dijelaskan bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لاَ يُقِيْمُ الرَّجُلُ الرَّجُلَ مِنْ مَجْلِسِهِ ثُمَّ يَجْلِسُ فِيْهِ وَلَكِنْ تَفَسَّحُوْا وَتَوَسَّعُوْا
Tidak boleh seseorang menyuruh orang lain berdiri dari tempat duduknya kemudian ia duduk di sana, akan tetapi hendaklah kalian memberi kelonggaran dan keluasan.[3]
4. Berkaitan dengan harta-harta yang diwakafkan, baik berupa tanah, rumah, atau barang-barang lainnya yang dalam pemanfaatannya tidak memerlukan persetujuan dari nâzhir (pengurus) barang yang diwakafkan. Maka siapa saja yang lebih dahulu sampai pada barang-barang tersebut, dia lebih berhak untuk memanfaatkannya. Misalnya seseorang mewakafkan sebuah rumah untuk ditempati oleh fakir miskin, maka fakir miskin mana saja yang lebih dahulu sampai ke rumah tersebut, dia yang lebih berhak untuk memanfaatkannya, sampai kebutuhannya terhadap rumah itu selesai.
Ini berkaitan dengan harta-harta wakaf yang tidak ada nâzhirnya secara khusus. Adapun jika harta-harta wakaf itu diurusi oleh nâzhir (pengurus) yang khusus maka pemanfaatannya tergantung pada persetujuan nâzhir tersebut, tidak berdasarkan siapa yang lebih dahulu sampai pada barang-barang itu.
5. Berkaitan dengan lahan mati, yaitu tanah yang tidak bertuan secara khusus. Siapa saja yang lebih dahulu menghidupkan tanah tersebut dan mengelolanya, maka dia yang lebih berhak memiliki tanah tersebut.
Dalam hal ini, seseorang dikatakan menghidupkan tanah yang mati di antaranya dengan membuat pagar pembatas sehingga tanah itu tidak dimasuki hewan-hewan liar, atau dengan membangun sumur di area tanah tersebut sehingga bisa mengairinya. Demikian pula bisa dilakukan dengan mengalirkan air ke tanah tersebut baik dari sungai, atau selainnya untuk mengairi tanah tersebut. Atau dengan membersihkan tanah tersebut dari bebatuan, genangan air, atau benda-benda lain yang menghalangi pemanfaatan tanah tersebut. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ
Barangsiapa menghidupkan lahan mati, maka lahan itu menjadi miliknya.[4]
6. Seorang laki-laki tidak diperbolehkan melamar wanita yang telah dilamar orang lain, selama lamaran tersebut belum ditolak oleh si wanita atau tidak ada izin dari si pelamar pertama. Hal ini dikarenakan orang yang pertama lebih dulu melamarannya sehingga dia lebih berhak, Sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لاَ يَخْطُبْ بَعْضُكُمْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ, حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ, أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ
Janganlah salah seorang di antara kalian melamar wanita yang telah dilamar orang lain sampai pelamar itu meninggalkannya atau mengizinkannya.[5]
7. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan tentang pahala yang besar yang akan didapatkan oleh seseorang apabila berdiri di shaf pertama dalam shalat berjama’ah. Sebagaimana sabda beliau :
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ اْلأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوْا إِلاَّ أَنْ يَسْتَهِمُوْا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوْا
Seandainya manusia mengetahui besarnya pahala mengumandangkan adzan dan pahala berdiri di shaf pertama sementara mereka tidak bisa memperolehnya kecuali dengan berundi tentulah mereka akan berundi.[6]
Dalam hal ini, seseorang yang lebih dahulu sampai di shaf pertama tersebut, dia yang paling berhak untuk menempati posisi tersebut daripada orang lain setelahnya. Wallâhu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
________
Footenote
[1]. HR. Abu Dâwud dalam Kitabu al-Kharâj, Bab Fî Iqthâ’i al-Ardhîna, no. 3071; al Baihaqi 6/142; at-Thabrâni dalam al Kabîr 1/76; al Maqdisi dalam al Mukhtârah 1/458 dari Asmar bin Mudharris. Sanad hadits ini dha’îf.
[2]. HR. Bukhâri dalam Kitâbul Hartsi wa al-Muzâra’ah, Bab Man Ahyâ Ardhan Mawâtan, no. 2335.
[3]. HR. Bukhâri dalam Kitâbul Isti’dzân, Bab Lâ Yuqîmur Rajulu ar-Rajula min Majlisihi, no. 6269 dan 6270; Muslim dalam Kitabus Salâm, Bab Tahrîmu Iqâmatil Insâni min Maudhi’ihil Mubâhi alladzi Sabaqa Ilaihi, no. 2177.
[4]. HR. Abu Dawud dalam Kitâbul Kharâju wal Imâratu wal Fai’, Bab Fî Ihyâ’il Mawât, no. 3073; Tirmidzi, no. 1378, beliau mengatakan, “Ini hadits hasan gharîb”. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al Albâni dalam Irwâ’ul Ghalîl no. 1550.
[5]. HR. Bukhâri, no. 5144; Muslim, no. 1412.
[6]. HR. Bukhâri, no. 615.
0 comments:
Post a Comment