“Bicaralah yang baik dan benar, atau lebih baik diam,”
begitu pesan Rasulullah untuk menjaga lidah
Suatu ketika Umar bin Khatab mengunjungi Abu Bakr. Ketika itu, Umar mendapatinya sedang menarik-narik lidah dengan tangannya. Mendapati peristiwa tersebut, seraya Umar bertanya, “Apa yang sedang anda lakukan? Semoga Allah mengampunimu!” Abu Bakr menjawab, “Inilah benda yang akan menjerumuskanku ke neraka.”
Dalam banyak sabdanya, Rosulullah senantiasa berpesan ke pada ummatnya supaya senantiasa menjaga lisan, agar tidak mudah “memuntahkan” kata-kata yang bisa menyelakakan diri sendiri, lebih-lebih orang lain.
Selain kemaluan, lidah merupakan salah satu biang yang sangat berpotensial menggiring kita ke pada kebinasaan, "Barang siapa yang dapat menjamin untukku apa yang ada di antara dua dagunya (lisan) dan apa yang ada di antara kedua kakinya (kemaluan) maka aku menjamin untuknya surga." (HR. Bukhari).
Madu dan Racun Lisan
Secara kasat mata, lidah hanyalah bagian kecil dari organ tubuh manusia. Ia lentur, tidak bertulang. Namun, dibalik ‘kelembutannya’ itu, tersimpan kedahsyatan yang mampu menghantarkan manusia ke pintu gerbang kebahagiaan, sekaligus bisa menjerumuskan si empunya ke dalam kehinaan hidup di dunia dan akhirat. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdullah bin Ma’ud, “Wahai lisan, ucapkanlah yang baik-baik, niscaya kamu akan beruntung! Diamlah dari mengucapkan yang buruk,buruk, niscaya kamu akan selamat sebelum menyesal!”
Laksana sebuah pedang yang terhunus, ia akan bermanfaat ketika si pemilik memanfaatkannya untuk sesuatu yang berguna. Begitu pula sebaliknya, ia justru akan berubah menjadi beban siapa saja, ketika ia tidak mampu memanfaatkannya dengan baik, atau menggunakan untuk ‘membabat’ siapa/apa saja, tak peduli dirinya sendiri. Tentu yang demikian ini, sangat membahayakan bagi keselamatan dirinya, ataupun orang lain. begitulah kira-kira analogi dari pada lisan.
Dan perlu diketahui, sejatinya lisan itu lebih berbahaya dari pedang, lebih beracun dari pada bisa, sebab, ia bisa membunuh tanpa harus melukai, bisa melumpuhkan, tanpa ada perlawanan (fisik). Kenapa?, karena lemparan peluru-peluru (baca: kata-kata) nya, langsung menghujam pada titik kelemahan manusia, hati. “Al-kalaamu yanfudzu maa laa tanfudzuhu ibaru (perkataan itu bisa menembus apa yang tidak bisa ditembus oleh jarum –hati-).
Imam Al-Ghazali telah menetapkan lisan (banyak bicara), sebagai racun pertama hati, yang menyebabkan manusia jauh dari cahaya Ilahiayah. Dalam kitab nya yang ternama, “Ihya’ Ulummidin” beliau banyak menerangkan tentang bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh lidah.
Saat ini, sepertinya kebanyakan manusia telah terseret ke lembah kehinaan lisan. Betapa mudah mereka mengumbar kata-kata, tanpa mempertimbangkan efek sampingnya, apakah itu membawa mashlahah (kebaikan), atau, justru sebaliknya, mafsadat (keburukan).
Lisan seseorang adalah merupakan cerminan dari baik dan buruk dan cerminan kualitas iman seseorang. Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda, "Tidak akan lurus iman seorang hamba sehingga lurus hatinya, dan tidak akan lurus hatinya, sehingga lurus lisannya. Dan seseorang tidak akan masuk surga apabila tetangganya tidak merasa aman dari kejahatan lisannya." (HR. Imam Ahmad dan selainnya)
Macam-Macam ‘Bisa’ Lisan
Pada hakekatnya, banyak sekali jenis penyakit yang bersumber dari lisan ini. Sebagian, bisa menghantarkan mereka keluar dari Islam. Sebagian yang lain, melahirkan dosa yang besar, akan tetapi tidak menjatuhkan mereka ke pada kekafiran. Dan di antara penyakit itu adalah:
1. Ucapan Kufur
Ucapan kufur, merupakan ucapan paling buruk yang akan mengeluarkan kaum muslimin dari keimanan mereka. Barang siapa yang mengucapkannya dengan penuh kesadaran, missal, “Saya mengakui bahwa ada Tuhan selain Allah”, maka, secara langsung ia difonis sebagai orang murtad alias kufur (keluar dari Islam).
2. Ucapan Yang Mendekati Kekufuran
Saat ini, sepertinya tidak sedikit orang yang terbawa oleh arus kebebasan yang kebablasan. Berlindung dengan dasar Hak Asasi Manusia (HAM), dengan berani mereka mengeluarkan pernyataan yang sangat bertentangan dengan syari’at. Misalnya, seorang muslim berani mengharamkan poligami dan menghalalkan nikah sejenis. Ketika mereka ditegur, mereka justu mengancam dengan dalih melanggar HAM. Pada intinya, hak-hak Allah yang tertera di dalam Al-Quran, ingin mereka letakkan dibawah HAM mereka yang berdasarkan hawa nafsu.
3. Berbohong
Berbohong merupakan istilah yang tidak asing di telinga. Kita sering mendengarnya. Tapi, dalam kontek kehidupan, kita sering menyampingkannya. Padahal efek dari prilaku ini sangat luar biasa, minimal, ia akan menyebabkan si pelaku tidak tenang, terus bimbang dalam menjalani kehidupannya. Sebagaimana sabda Rosul, “Sesungguhnya kebenaran itu (membawa) ketentramandan kebohongan itu (mengakibatkan) kebimbangan.” (HR. Tirmidzi).
Dan bohong yang tingkatannya paling tinggi adalah, berbohong kepada Allah, Rosulnya, dan bersaksi dengan kesaksian yang palsu (terkecuali kalau dihadapan musuh). Dan contoh bahwa seseorang telah berbohong kepada Allah dan Rosul-Nya, ia memberikan penjelasan (fatwa), bahwa Allah dan Rosul-Nya telah berkata demikian, padahal itu bohong. Firman Allah, “Maka tidak ada kedzoliman yang lebih berat selain orang-orang membuat-buat dusta terhadap Allah atau mendustakan ayat-ayat-Nya.” (Al-‘Araf: 37).
4. Ghibah
Ghibah, menggunjing atau menggosip. Sebagaimana didefinisikan oleh Rosulullah, bahwa ghibah adalah jika , “Engkau menyebut/menceritakan saudaramu dengan ucapan yang (jika dia di depanmu) dia akan membencimu….” (HR. Imam Muslim).
Ditinjau dari segi hukum, ghibah adalah haram. Allah mengumpamakan orang yang doyan me-ghibah adalah mereka yang senamg memakan daging saudaranya yang sudah mati. Firman Allah, “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentunya kamu merasa jijik kepadanya……” (Al-Hujurat: 12)
Di tengah arus informasi saat ini, ghibah telah menjadi sesuatu yang dikomersialkan, dan disenangi oleh sebagian orang. Acara infortaiment, adalah jenis ghibah di era modern. Cukuplah firman Allah di atas sebagai teguran bagi kita untuk menjauhi prilaku ghibah ini, apapun wujud perubahannya.
5. Fitnah
Rasa dengki dan iri hati terhadap kesuksesan/kebahagian seseorang, seringkali menjadi pemicu untuk memfitnah orang tersebut. Mencari-cari kelemahan, kemudian menyebarkannya ke pada khalayak umum, adalah wujud dari fitnah itu sendiri. Hal ini sangat dibenci oleh Allah dan Rosul-Nya, bahkan ia (fitnah) dikategorikan lebih kejam dari pada pembunuhan.
Banyak sekali ancaman Allah melalui lisan Rosul-Nya mengenai balasan bagi mereka yang suka memfitnah, salah satunya adalah hadits berikut ini, “Orang-orang yang suka mengumpat, mencela, mengadu domba, dan mencari-cari aib orang lain bakal digiring di masyar nanti dengan wajah berupa anjing.” (HR. Abu Syaik dan Ali bin Harits).
6. Sikhriyyah
Manusia diciptakan dengan diliputi oleh beberapa kelebihan dan kekurangan. Satu sama lain, pasti mempunyai dua hal ini, kelebihan dan kekurangan. dan untuk melengkapi antar mereka, maka manusia harus saling membantu, bukan dengan saling mencemooh antar satu sama lain. “Laa tahtakir man duunaka falikulli syain maziayatun.” (janganlah meremehkan siapa saja yang lebih rendah dari padamu, karena setiap sesuatu itu memiliki kelebihan). Demikianlah pribahasa Arab menggambarkan, betapa manusia itu jauh dari kesempurnaan.
Sayangnya, kadang karena dorongan hawa nafsu, secara tidak sadar/sadar kita telah meremehkan seseorang, baik itu dengan ucapan, tindakan ataupun dengan isyarat. Secara logika, sebenarnya kita pun menolak ketika ada seseorang yang meremehkan kita, sebab itu, kita harus menghindari perbuatan tercela ini. dan perlu diperhatikan, bahwa, belum tentu orang yang kita perolok-olokkan itu, lebih buruk dari pada kita yang mengolok-ngolokkan, bahkan, bukan suatu kemustahilan, ia lebih baik dari pada kita. Simaklah firman Allah berikut ini, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolo-ngolokkan kaum yang lain. (karena) boleh jadi mereka (diperolokkan) itu lebih baik dari pada mereka (yang memperolokkan).” (Al-Hjurat: 11)
7. Sibabah
Sifat ashabiah (kekelompokkan/kesukuan), kini telah menjakiti sebagian kaum muslimin. Tak jarang karena sifat ini telah mendarah daging, mereka mencela kelompok yang lain, yang tidak sejalan dengan perilaku mereka. Padahal, perselisihan di antara mereka, -hanyalah- perselisihan furu’iah, bukan yang ushul. Jangankan kita, yang masanya jaraknya jauh dengan masa Rosulullah, para sahabatpun, yang hidup di zaman Nabi, juga pernah berselisih pendapat. Masalahnya, perbedaan pendapat di jaman sahabat, tidak menjadikan merenggangkan tali persaudaraan mereka.
Lihat lah fenomena saat ini, karena kelompok lain tidak mengamalkan bacaan ini dan bacaan itu, amalan ini dan amalan itu, dengan mudah mereka menyalahkan antar satu sama lain, bahkan tak jarang juga mereka saling menyesatkan. Pebuatan macam inilah yang kemudian disebut dengan sibabah.
Hal ini sangat dilarang, sebagaimana sabda Rosul, “Mencela orang muslim itu menyebabkan kefasikan dan membunuhnya menyebabkan kekufuran.” (HR. Bukhari dan Muslim). Sikap mencela, bukan hanya dilarang untuk sesama muslim, terhadap waktu, angin, ayam jantan yang berkokok, juga berlaku demikian. Sabda Nabi, “Janganlah kamu mencela angin karena angin itu sebagian dari ruh (kekuasaan) Allah.” (Al-Hadits).
8. Memberi Dukungan Yang Buruk
Bukan suatu yang rahasia lagi, kalau ada sebagian orang, atas nama menjaga kekompakan, mereka sepakat untuk melakukan suatu makar, sayangnya, makar tersebut merupakan makar kemaksiatan. Seperti mencuri, menyuap, dan lain sebagainya. Saling mendukung dalam kejelekan/kemaksiatan semacam ini haram hukumnya, sekalipun ia tidak terlibat dalam tindakan makar tersebut. Allah berfirman, “Barang siapa yang memberi syafaat yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian dari dosanya.” (An-Nisa’: 85)
9. Gemar Mengucapkan Sumpah
Seringkali seseorang karena kepepet, dan demi meyakinkan lawannya, dengan mudah ia bersumpah atas nama Allah. prilaku umbar sumpah, merupakan prilaku buruk, yang seharusnya tidak dilakukan oleh orang-orang mukmin. Firman Allah, “Dan janganlah kamu mengikuti orang yang banyak bersumpah lagi hina.” (Al-Qalam: 10)
10. Li’an
Li’an adalah memvonis orang dengan ucapan laknat. Sebagai seorang mukmin, kita dilarang keras untuk melaknat sesama saudara seiman. Ketika kita melakukannya, berarti, kita telah membunuh saudara kita sendiri. Rosulullah bersabda, “Mengucapkan laknat kepada orang mukmin (sama halnya) dengan membunuhnya.” (HR. Bukhari Musliam dan Duhhak)
Demikianlah di antara penyakit lisan, yang bisa membahayakan nasib kita (si empunya lisan) dan orang lain, di dunia, lebih-lebih di akhirat kelak. Dan dalam rangka mencegah itu semua, perlu kiranya kita mengerjakan beberapa hal berikut ini:
1. Senantiasa meminta pertolongan kepada Allah atas bahaya lisan kita.
2. Basahilah ia dengan dzikir.
3. Berfikir terlebih dahulu (akan manfaat dan mudharat) sebelum bertutur.
4. Ketika kita menyadari akan kekeliruan ucapan kita, beristighfarlah, dan berjanji untuk tidak mengulanginya.
5. Jauhkanlah diri dari kebiasaan mengucapkan hal-hal yang tidak bermanfaat. "Di antara ciri kebaikan Islam seseorang adalah ketika bisa meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat." (H.R. Tirmizi dan Ibnu Majah).
6. Janganlah berbicara berlebihan atau melebih-lebihkan sesuatu.
Demikianlah di antara tips-tips yang akan membebaskan kita dari racun lisan. Mudah-mudahan, Allah menggolongkan kita termasuk orang-orang yang senantiasa menjaga dan menghiasi lisan dengan dzikir-dzikir cinta, cinta kepada Allah.
Akhirul kalam, Keselamatan seorang manusia juga terletak dalam menjaga lidahnya. Allah menyeru umat-Nya agar menggunakan lidah untuk berzikir dan menyebut nama-Nya.
Nabi bersabda, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah berkata benar atau diam." (H.R. Bukhari dan Muslim). Dalam hadits lain ditegaskan, "Simpanlah lidahmu, kecuali untuk perkataan yang baik. Dengan bersikap seperti itu, engkau dapat mengalahkan setan." (H.R. Ibnu Hibban)
Pesan Nabi menegaskan agar kita harus berbicara yang baik dan benar atau lebih baik diam jika tak mampu. Wallahu ‘alam
0 comments:
Post a Comment