Pages

Wednesday, April 17, 2013

MENUJU KEHANCURAN UMAT DAN IMAN



Suatu umat dan bangsa mengalami pasang surut, ada saat dimana mereka hidup dengan kemuliaan dan kejayaan, namun pada saat yang lain dalam kehinaan dan kesengsaraan hingga tercatat dalam sejarah sebagai umat yang terpuruk.

Sebagai umat Islam dan bangsa Indonesia yang mayoritas muslim, kita tentu tidak ingin menjadi umat dan bangsa yang terpuruk. Karena itu, perlu kita cari sebab utama kehancuran suatu umat atau bangsa agar kita bisa mencegahnya sejak dini dan bila tanda-tanda itu sudah ada segera kita hentikan.

Dalam suatu hadits, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla, jika Dia berkehendak untuk membinasakan (menghancurkan) seorang hamba, maka Dia akan mencabut rasa malu dari hamba tersebut. Jika rasa malu telah tercabut darinya, maka Allah tidak akan mendapati hamba tersebut kecuali sebagai orang yang dimurkai dan dibenci-Nya. Jika ia telah menjadi orang yang dimurkaidan dibenci oleh Allah, maka tercabutlah darinya amanah. Jika sikap amanah telah tercabut darinya, makaAllah tidak akan mendapatinya kecuali sebagai orang yang berkhianat dan pembuat khianat, maka akan tercabutlah darinya kasih sayang (rahmat) Allah. Jika kasih sayang Allah telah dicabut darinya, maka ia tidak lain adalah orang yang terkutuk dan terlaknat. Dan jika Allah telah menetapkannya sebagai orang yang terkutuk, maka tercabutlah darinya perlindungan Islam” (HR. Ibnu Majah).

Dari hadits di atas, ada tiga tahap yang apabila dimiliki oleh umat Islam, baik secara pribadi, keluarga maupun jamaah, masyarakat dan bangsa akan mengalami kehancuran yang tidak bisa terelakkan.

1. Tercabut Rasa Malu.

Memiliki sifat malu merupakan sesuatu yang amat penting, yakni malu bila melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya. Hai ini karena, bila kita dan anggota masyarakat lainnya telah memiliki rasa
malu seperti ini, maka tidak akan ada penyimpangan yang dilakukan. Karenanya hal ini menjadi salah satu cabang penting dari iman yang berarti keimanan seseorang perlu kita pertanyakan apabila pada dirinya tidak ada perasaan malu. Rasulullah saw bersabda: “Malu itu cabang dari iman” (HR. Bukhari).

Bila manusia masih memiliki sifat malu tentu tidak akan melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Namun bila rasa malu ini sudah tidak lagi dimiliki oleh manusia, ia bisa melakukan apa saja sesuai dengan kehendaknya, dalam satu hadits yang berasal dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amr Al Anshari Al Badri dinyatakan: “Sesungguhnya sebagian dari apa yang telah dikenal orang dari ungkapan kenabian yang pertama adalah: Jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendak hatimu ” (HR. Bukhari).

Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi kita untuk selalu memperkokoh rasa malu, karena tidak ada kejelekan sedikitpun dari sifat malu ini sehingga Rasuluilah saw bersabda: Manakala rasa malu sudah tercabut dari jiwa seseorang, maka kehancuran dirinya tidak bisa dihindarkan lagi karena ia akan menjadi manusia yang dibenci dan dimurkai oleh Allah swt.

2. Tercabut Amanah.

Sesudah rasa malu tercabut dari jiwa seseorang, maka ia tidak peduli dengan citra dirinya yang rusah, karenanya iapun akan mengabaikan
amanah yang dibebaankan kepadanya. Dalam hidup ini, kita mendapatkan begitu banyak amanah, baik dari Allah swt maupun dari sesama manusia. Secara harfiyah, amanah artinya dipercaya.

Secara khusus, amanah berarti mengembalikan sesuatu yang dititipkan oleh seseorang kepadanya. Adapun makna umum-nya adalah menyampaikan atau melaksanakan sesuatu yang ditugaskan kepadanya. Sifat ini bukan hanya penting karena termasuk akhlak yang mulia, tapi justeru kualitas keimanan seseorang sangat tergantung pada apakah ia bisa menjalankan amanah atau malah berkhianat.

Oleh karena itu, dalam satu hadits, Rasulullah saw bersabda: “Tidak (sempuma) iman seseorang yang tidak amanah, dan tidak (sempurna) agama seseorang yang tidak menunaikan janji ” (HR. Ahmad).
Karena amanah merupakan sesuatu yang sangat penting, maka Allah swt memerintahkan kepada manusia untuk menunaikan amanah sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya ” (QS An Nisa [4]:58).

Disamping itu, Allah swt juga melarang kita untuk mengkhianati amanah yang sudah diberikan kepada kita, Allah swt berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan jangan (pula) mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui ” (QS Al Anfal [8]:27).

Manakala seorang muslim sudah bisa menunaikan amanah dengan baik, seandainya dalam hidup ini sudah tidak punya apa-apa secara duniawi, ia masih tetap menjadi orang yang bahagia dalam arti bukan orang yang lagi, Rasulullah saw bersabda:


“Empat perkara yang apabila ada padamu, tidak akan merugikan lepasnya segala sesuatu dari dunia daripadamu, yaitu: memelihara amanah, tutur kata yang benar, akhlak yang baik dan bersih dari tamak ” (HR. Ahmad).

3. Tercabut Kasih Sayang.

Saling berkasih sayang merupakan salah satu kunci kekuatan umat Islam, ini tercermin pada sikap hormat menghormati, berbaik sangka, tolong menolong bahkan mengutamakan orang lain ketimbang dirinya sendiri.
Bila kasih sayang telah tercabut dari jiwa kaum muslimin, yang terjadi adalah permusuhan yang bermula dari sikap marah. Karenanya sikap marah itu harus kita hindari dari diri kita.

Al ghadhab atau marah merupakan salah satu sifat yang sangat berba-haya, ini telah menghancurkan manusia, baik secara pribadi maupun kelompok. Karenanya, sesama muslim seharusnya tidak saling menunjukkan kemarahan.
Ada beberapa bahaya dari sifat marah yang harus diwaspadai :

Pertama, merusak iman, karena semestinya bila seseorang sudah beriman dia akan memiliki akhlak yang mulia yang salah satunya adalah mampu mengendalikan dirinya sehingga tidak mudah marah kepada orang lain, Rasulullah saw bersabda: “Marah itu dapat merusak iman seperti pahitnya jadam merusak manisnya madu ” (HR. Baihaki).

Kedua, mudah mendapatkan murka dari Allah swt terutama pada hari kiamat, karena itu pada saat kita hendak marah kepada orang lain mestinya kita segera mengingat Allah sehingga tidak melampiaskan kemarahan dengan hai-hal yang tidak benar, Allah swt berfirman sebagaimana yang disebutkan dalam hadits qudsi : “Wahai anak Adam, ingatlah kepada-Ku ketika kamu marah. Maka Aku akan mengingatmu jika Aku sedang marah (pada hari akhir) “.

Ketiga, mudah marah juga akan mudah menyulut kemarahan orang lain sehingga hu-bungan kita kepada orang lain bisa menjadi renggang bahkan terputus sama sekali. Oleh karena itu, seseorang baru disebut sebagai orang yang kuat ketika ia mampu mengendalikan dirinya pada saat marah sehingga kemarahan itu dalam rangka kebenaran bukan dalam rangka kebathilan,

Rasulullah saw bersabda: “Orang kuat bukanlah yang dapat mengalahkan musuh, namun orang yang kuat adalah orang yang dapat mengontrol dirinya ketika marah ” (HR. Bukhari dan Muslim).

Apabila seseorang mampu menahan ama-rahnya, maka dia akan mendapatkan nilai keutamaan yang sangat besar dari Allah swt, dalam hal ini Rasulullah saw menjelaskan di dalam sabdanya:

“Tiada tegukan yang ditelan seorang hamba yang lebih besar pahalanya daripada tegukan kemarahan yang ditahannya semata-mata karenaAllah ta’ala ” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad).

Di dalam hadits lain, Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang menyembunyikan kemarahan, padahal dia mampu melakukannya, maka Allah akan menyerunya di hadapan para pemimpin makhluk sehingga Dia memilihkan bidadari untuknya, lalu menikahkan dengannya sesuai dengan kehendaknya ” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

Dari uraian di atas, menjadi jelas bagi kita bahwa tanda-tanda kehancuran harus kita jauhi dari diri, keluarga, jamaah, masyarakat dan bangsa kita agar kita bisa selamat di dunia dan akhirat.

0 comments:

Post a Comment