Dalam penziarahan cinta, ombak lautan yang membawanya pergi pada sang kekasih adalah deburan sejati yang mengalir dari samudera ketulusan hati. Langkah kaki yang diayunkannya, bagai degup jantung yang menghidupi dan memelihara kekasihnya dari nestapa dunia. Sedang semerbak untaian kata yang ditebarkan keudara bagai senandung abadi, yang dinyanyikan bidadari surga.
Dapatkah kemurnian cinta menahan hasrat untuk membahagiakan kekasihnya?, mungkinkah matahari akan membiarkan bulan untuk bersinar selamanya tanpa saling melengkapi dan mengisi kekosongan hari?! .
Telah bermil-mil jauhnya Satria meninggalkan kerajaan Ansaria menuju kerajaan Tradasia. Selama dalam pengembaraan tersebut, ia menuliskan kegelisahan hatinya pada daun lontar. Ia susun kepedihannya itu hingga menjadi gulungan permadani syair nan indah.
“Duhai Tiara ! walau dalam pengembaraan spiritual ini kau tak disisiku, namun bayang indahmu selalu bersemayam dalam relung sanubariku”.
“Dari tiap helai dedaunan yang kutingalkan, namamu selalu tertinggal dan mengakar pada paras bumi. Setiap kulantunkan syair kerinduanku untukmu, maka burung-burung yang mendengarnya seakan malu untuk ikut bersenandung”
“Duhai Tiara, dikeremangan malam ini, berpayungkan temaram cahaya bulan, kulihat sosok bayang indahmu, menyapa halus sudut-sudut tepian langitku yang senantiasa berbintang”
“Kemudian kulihat engkau mendendangkan lagu-lagu cinta di puri jiwamu, atau kulihat dirimu berdiri dtepian senja, lalu dengan sorot mata tajam; sambil menatap langit pucat kemudian mengubah warnanya- dengan mata yang memancarkan indahnya pengetahuan”.
“Entah berapa banyak hari-hari keputusasaanku telah sia-sia berlalu, tuk sekedar mencari bayangan lain selain dirimu.”
“Engkau dan hanya engkaulah bayangan semu yang akrab diantara kehampaanku, dari mimpi-mimpi malamku, sering kulihat wujud hidupmu dan menyaksikan jemari lentik putihmu menari diatas dawai kecapi”.
“Sepasang mata itu telah membangkitkan dan membimbing begitu banyak impian indah dalam diriku, Aku tak bisa menghitung berapa kali aku putus asa mencari jelmaan lain dari dirimu”.
“Tiada keindahan yang dapat mewakilkan , kecuali indahnya sajak-sajak termanis yang tercipta itu,yang bisa dibandingkan dengan keindahanmu”
“Engkau laksana cahaya bintang yang terus menyinariku berabad-abad lamanya, Takkala bayangan malam telah datang, dirimu hadir membukakan pintu jiwa- bagi ruhku, sebuah tempat dimana semua keabadian terdiam membisu dan segala kepalsuan -terkuak warna aslinya”.
“Wahai pujaan hati,, dimalam ini aku masih saja memikirkan dirimu, tak sedikitpun ku mampu tuk pejamkan mata, tak sedetik pula kau luput dari ingatanku, kuharap engkau masih dapat tersenyum dan menari dalam genangan airmataku. Dan semoga saja engkau masih merindukanku walau sekiranya ku jauh dari sisimu ”
“Tahukah engkau kekasih tak ada kelopak bunga yang merekah ataupun melayu tanpa sepengetahuanku, dan kulihat dirimu terbaring dalam selubung mawar, Kau terbaring dalam luka lama yang belum mengering,tanganmu tak lagi bergerak, kau beku dan pucat. Bagiku saat itu adalah malam gelap tanpa dasar, Jangan pernah menangis lagi “Cinta”-ku…. Tahukah engkau …saat aku melihat bintang itu- aku melihat diriku ada dalam dirimu, dan dukamu juga cerminan dukaku”…
“Duhai Tiara, telah begulung-gulung daun lontar kutulisi dengan percikan tinta airmataku, dan telah banyak pula kuas-kuas anyaman hati, kutarik dan kuikat untuk menulisi perihal pesona keindahanmu…semua ini kulakukan semata-mata untuk mu permata hati !”.
“Bila ku telah selesai menyusunnya, dari tepian langit Kerajaan Tradasia aku ingin sesegera menghembuskan pertama kali untukmu seorang. Sebab dibawah langit inilah, aku menemukan kebebasan diri tuk melukiskan suasana hatiku, dibawah langit kecerdasannyalah- mereka dapat menghargai karya-karyaku!”
Telah banyak benang-benang waktu yang terajut dalam kain kesunyian hari, sudah banyak kepompong sutra yang telah disinggahi, telah banyak pula kepeng emas dan sanjung puji berhasil ia kumpulkan. Namun keberhasilannya itu tak membuatnya bahagia, baginya makna bahagia yang sesungguhnya adalah ketika ia bisa berjumpa dan menyatukan jiwa dan raganya bersama kekasih pujaannya..
Ia tak mengharapkan sanjung puji karena Tiaralah satu-satunya tujan hidup tempatnya berlabuh, karena Tiaralah yang telah menjadi denyut nadi dan juga nafas hidupnya.Wahai dunia nan kejam, Tiara kini telah jauh dari pandangan mata, melihatnya dari balik tirai dan mencium keharuman rambutnyapun kini menjadi sebuah kemustahilan, apalagi dapat membelainya?.
Walau kini banyak emas yang ia genggam, bagai bandul intan dengan tali yng melilit dilehernya, disetiap keadaan- disetiap waktu , karena beratnya bandul itu seakan membuat dirinya tenggelam dan terlena dalam lautan gelap pusara dunia . “Hanya Tiara, hanya Tiara kebahagiaanku yang sejati!”, ujarnya lirih.
Sayang gadis itu telah ditinggalkannya jauh seorang diri. Bagaimana mungkin sang terkasih dapat tersenyum kembali, bila kekasih tak berada disisi. Ia bagaikan sekuntum bunga yang layu walau hidup diatas tanah yang subur. Cahaya matanya yang biasa bersinar kini menggantunngkan awan kelam dilangit-langitnya. Dapatkah jiwa memikirkan sejenak, guna membayangkan cahaya matanya, takkala Si Gadis jelita itu menyandungkan senandung bait-bait syairnya?.
Bayangan Tiara seperti ini membuat hati Satria menjadi gundah gulana, walau secara kasat mata ia tak melihat Tiara, namun gejolak badai yang bermain dihatinya tak dapat ia sembunyikan sekalipun ia tersenyum. Dalam benderang cahaya hari, ia tetap saja merasa sunyi walupun sekiranya berada ditengah keramaian kota,dan membuat jiwanya selalu saja miskin walau sekiranya emas-permata berkilauan memenuhi tapak tangannya.
Dalam keterasingannya tersebut, Satria menempatkan jiwanya dalam sebuah gua persembunyian. Ia merasa mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan hati takkala berada dalam kesunyian tersebut dan hanya dengan kesunyian seperti itulah ia dapat berteriak, tertawa ataupun menangis menyebut-nyebut nama kekasih, tanpa ada yang melarang ataupun menghina dirinya.
Ditiap gemirincik aliran anak sungai dan langkah yang ia lewati, tak sedikitpun waktu yang melintas tanpa pujian bagi sang terkasih. Bibirnya tak pernah letih dalam bersyair, dan tak pernah pula membingkai segala doa dan harapan yang telah terpahat dalam hati. Seakan telah menjadi obat penghalau awan kepedihan dan juga kekuatannya dalam menapak jejak-jejak langkah kerinduan.
Bila kekasih merindu pada bintang yang bersinar terang dalam hati, dapatkah kepalsuan cinta menyembunyikan cahaya indahnya dari hati?, dapatkah bujuk rayu harta dunia membahagiakan bathinnya selain menambah kepedihan jiwanya ?.
Mungkinkah hingar bingar pesta pora menghilangkan ingatannya pada sang terkasih selain menambah kesunyian dan keterasingan hatinya?.
Betapa anehnya bila dunia bila menganggap kemurnian Cinta, adalah jalan sesat yang membawa pelakunya jatuh kedalam lubang yang curam dan gelap. Tidakkah mereka sadari bahwa cahaya surgalah yang membawa dan menuntun mereka, dalam rengkuhan kasih Ilahi.
Dunia boleh memiliki tangan yang kekar untuk memisahkan keduanya, dunia boleh melingkarkan untaian bukit emas untuk membelenggu tangan dan kakinya, namun dapatkah dunia melawan kehendak tangan Tuhan, yang telah menyatukan keduanya- dari keterpisahan ?!.
Bagi jiwa Satria, hanya cintalah yang ingin ia kecap dan rasakan. Ia tak malu walau dirinya terlihat kumal dan berantakan karena Cahaya Cintalah yang ingin ia gapai, dan hanya anggur Cintalah yang ingin ia reguk.
Ia telah mabuk dalam pengembaraannya mencari sang terkasih. Dalam perjalannya itu tak sedikit manusia yang mentertawainya, menganggapnya gila serta melempari tubuh sang pecinta dengan batu dan kotoran.
Mereka tertawa kegirangan ketika melihat sang pecinta menjerit kesakitan, mereka tersenyum puas manakala darah mengucur dari tubuhnya yang terbungkus balutan tulang- belulang.
Mereka menutup hidung dan membuang pandangannya ketika sang pecinta lewat, namun pada saat yang sama menangisi suara-suara surga yang mengalun merdu dari bibirnya, serta mendekap bayang-bayang sang pencinta di kesunyian malamnya..Ketika kesunyian itu lebih dalam lagi, mereka mengejar sang pecinta hingga keatas bukit lalu merentangkan tangan kasihnya sebagai seorang sahabat.
Oh betapa anehnya dunia dan betapa malangnya nasib pecinta ini, ketika ketersendirian membaluti tangkai harinya dengan kegersangan, maka keluarlah senandung kelembutan hati nan indah yang mengalun dari kerongkongannya yang dahaga.
“Duhai Tiara, aku telah berusaha meraih harta dunia untuk menggapai cintamu, namun kini telah kusadari bahwa Cinta itu ternyata lebih mahal harganya dari sekedar harta dunia!”. “Aku telah bahagia menjadi aku dengan segala aku, aku takkan memaksakan kehendak untuk menjadi seseorang yang bukan diriku!”.
“Inilah aku Tiara, ketika manusia mentupi hidungnya ketika berjumpa denganku, sedang dirimu maukah kau sejenak duduk disampingku sambil menebarkan keharuman rambutmu untukku?.
“Mampukah keshalehan dirimu mendoakan suatu kebaikan, bagi diriku yang malang ini?, dapatkah bibir merahmu mengalunkan syair-syairku sebagai penguat langkah,penyembuh kalbu?!”…
”Duhai kekasih, tetaplah bersemayam dalam hatiku, hiasilah hariku ini dengan senyum indahmu yang menawan. Sentuhlahlah luka yang menganga ini dengan lentik jemarimu yang halus, lalu basuhlah darahnya dari kain ketulusan, yang telah kita rajut bersama -dari benang jiwa.”
“Medekatlah cintaku, janganlah merasa malu bila berada disampingku.Bertandanglah barang sejenak dihutan-hutan kesunyianku. Reguklah kesegaran mata air yang mengalir dari sungai-sungainya. Sapalah kehangatan surya yang bersinar teduh dari balik rimbun pepohonannya.”
“Di hutan rimba ini begitu indah kasihku, angin berhembus, daun bergoyang, burung berkicau riang. Dikesunyian ini tak pernah aku mendengar suara ratap tangis, dalam hutan yang rindang ini, tak pernah aku melihat manusia tergeletak karena lapar.Betapa inginnya aku menceritakan ihwal keindahan ini kepadamu, dan seandainya saja kita dapat melewatinya bersama.”
“Wahai Tiara, aku tahu saat ini engkau hidup bagai merpati yang terpenjara dalam kurungan emas sanak keluarga yang mengasihimu , namun dapatkah kau sejenak melihat keterasinganku ini?!, dapatkah dua bola indah matamu membuka dan melihat kehidupanku yang nestapa?, Mungkinkah senyum indahmu membasuh kepedihan hatiku.
Dapatkah ketulusan cinta mu membangkitkan jiwaku yang telah lama mati?. Tahukah kau kekasih, dengan langkah gontai; terlunta-lunta aku menyusuri padang kesunyian tanpa seulas senyum sedikitpun menyapa diriku.
Mereka; orang-orang beradab ini menjauhiku, menganggapku hilang ingatan , menghardik dan menista diriku, seolah aku ini sampah yang menjijiikan; hantu yang menakutkan. ”
“Duhai kekasih hati, Cinta telah mengikat jiwaku dan menyimpulkannya dengan benang jiwamu. Dalam rajut ketulusan ini, aku memohon padamu, agar senantiasa menjaga kain kesucian cinta dari tangan-tangan kotor yang hendak menjamahnya. Jangan kau biarkan gunting-gunting nafsu dan kancing kemewahan dunia menggadaikan kain kebersahajaan kita”.
“Duhai belahan jiwa, biarlah dirimu kukenang sebagai sebuah telaga yang selalu menghilangkan dahaga jiwaku. Biarlah keteduhan binar matamu memayungi hari-hariku yang penuh nestapa. Dan biarkan pula hembusan angin membawa keharuman rambutmu sebagai nafas penopang raga. Biarlah semua terbingkai dalam hatiku ini, sehingga dari balik linangan airmata, kudapat menjalani hari-hariku dengan indah dan penuh warna kebahagiaan.”
‘Wahai pohon cemara yang bergoyang, engkau adalah sebuah menara yang menjadi saksi bagaimana cinta telah mematahkan segala harapanku, dan menyiksaku dengan hujaman ayunan kapak agar dengannya aku tunduk dibawah kaki aturan adat dan kemuliaan dunia. Walaupun demikian ku senantiasa tersenyum padanya, dan kuyakin dengan senyumku ini, putik-putik hatinya dapat merasakan kebahagiaan walau dirinya berada jauh dari sisiku. Dan aku akan selalu mengenang keberadaan cintanya, seolah ia sendiri berdiri dihadapanku, menyapa dan tersenyum padaku walaupun sekiranya ia jauh.”
“Wahai Penguasa kalbu, dari dekapan erat jemari kasih sayang keluarganya., biarkanlah api cinta selamanya berpijar serta memancarkan cahya kasih dalam lilitan sumbu lentera hatinya. Payungilah sang pecinta dari panasnya dunia, siramilah bunga-bunga cinta yang telah tertanam dalam jiwanya agar selamanya bersemi, mengharumi hari serta menghiasi kehidupan lelaki lemah ini dengan keindahannya.Teguhkanlah hatinya,Ya Rabb supaya sang pecinta dapat menjaga kebun-kebun cintanya yang telah tersemai.”
“Ya Allah, Tuhanku Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, anugerahkanlah Tiara padaku serta dekatkanlah hati dan jiwanya untukku. Engkaulah Ya Rabb, Yang Berkuasa penuh atas segala catatan takdir makhluk-makhlukMu dari awal hingga akhir kehidupan. Semaikanlah putik-putik kebahagiaan kedalam taman hatinya,
kuatkan dan tentramkanlah hati sang pecinta dari kegelisahan dimalam tak berbatas dan bertepi ini.
Anugerahkanlah kesejukan dan ketenangan bathin dimalam ini kepadanya, yaitu dia yang terus merentangkan jubah kasihnya; serta mengingat cintanya saat orang lain terlelap tidur. Dan dia yang bagaikan bunga matahari, menundukkan tangkainya -sujud mencium bumi, dan berdoa,bermunajat pada-Mu untuk kebaikan serta kebahagiaan hidupku.”
“Tuhan, dalam letihku ini…aku menghaturkan doa padaMu, disaat tubuhku melemah dan pendanganku menjadi kabur, aku memohon dengan kekuatanMu, ringankanlah langkah kaki sang Mutiara hati, untuk menemui diriku yang lemah dan tak berdaya ini. Wahai Penggenggam hidup, apalagi yang mesti kuperbuat, bebaskanlah aku dari lilitan derita. Sandingkanlah jiwaku dengannya dengan kekuatanMu. Lalu hidupkanlah jiwaku yang mati dengan cahya kasihMu, hindari serta selamatkanlah aku dari perangkap kematian, yang sengaja dicipta dan dipasang untuk melukai diriku. Kini selagi ia berusaha mendekati pijar jiwaku, maka pulihkanlah tenaga dan kekuatanku agar ku dapat pula melangkah menemui pujaan hatiku.”
Mendengar senandung yang begitu indah, alampun menekukkan tubuhnya dalam keharuan. Sesaat burung-burung berhenti berkicau. Matahari yang biasanya tersenyum dibalik awan, kini telah menyembunyikan muram wajahnya dalam kelambu awan kelabu. Langit nan cerah mendadak bermuram durja, hingga menitikkan airmata duka.
Hanya kesejukan udara yang mungkin masih setia memberi keharuman mawar dalam rongga dadanya yang sesak. Dalam hembusan tulusnya, sang angin seakan ingin mengingatkan diri agar dirinya selalu tersenyum, dari indah putik indahnya –seakan hendak mengingatkan sang pecinta agar selalu ceria dan melupakan sejenak segala resah hatinya.
0 comments:
Post a Comment