Pages

Monday, November 7, 2011

Ta’aruf Syar’i, Solusi Pengganti Pacaran

Pertanyaan:
1. Apabila seorang muslim ingin
menikah, bagaimana syariat
mengatur cara mengenal
seorang muslimah sementara
pacaran terlarang dalam Islam?

2. Bagaimana hukum berkunjung
ke rumah akhwat (wanita) yang
hendak dinikahi dengan tujuan
untuk saling mengenal karakter
dan sifat masing-masing?

3. Bagaimana hukum seorang ikhwan (lelaki) mengungkapkan
perasaannya (sayang atau cinta)
kepada akhwat (wanita) calon
istrinya?

Dijawab oleh Al-Ustadz Abu
Abdillah Muhammad Al-Makassari:





Benar sekali pernyataan anda
bahwa pacaran adalah haram
dalam Islam. Pacaran adalah
budaya dan peradaban jahiliah
yang dilestarikan oleh orang-
orang kafir negeri Barat dan lainnya, kemudian diikuti oleh
sebagian umat Islam (kecuali
orang-orang yang dijaga oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala),
dengan dalih mengikuti
perkembangan jaman dan sebagai cara untuk mencari dan
memilih pasangan hidup.

Syariat
Islam yang agung ini datang dari
Rabb semesta alam Yang Maha
Mengetahui dan Maha Bijaksana,
dengan tujuan untuk membimbing manusia meraih maslahat-
maslahat kehidupan dan
menjauhkan mereka dari
mafsadah-mafsadah yang akan
merusak dan menghancurkan
kehidupan mereka sendiri. Ikhtilath (campur baur antara lelaki dan wanita yang bukan
mahram), pergaulan bebas, dan
pacaran adalah fitnah (cobaan)
dan mafsadah bagi umat manusia
secara umum, dan umat Islam secara khusus, maka perkara
tersebut tidak bisa ditolerir.

Bukankah kehancuran Bani Israil
–bangsa yang terlaknat–
berawal dari fitnah (godaan)
wanita?

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:







“Telah terlaknat orang-orang
kafir dari kalangan Bani Israil
melalui lisan Nabi Dawud dan Nabi
‘Isa bin Maryam. Hal itu
dikarenakan mereka bermaksiat
dan melampaui batas. Adalah mereka tidak saling melarang
dari kemungkaran yang mereka
lakukan. Sangatlah jelek apa
yang mereka lakukan.” (Al-
Ma`idah: 79-78)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:





“Sesungguhnya dunia itu manis
dan hijau (indah memesona), dan
Allah Subhanahu wa Ta’ala
menjadikan kalian sebagai
khalifah (penghuni) di atasnya,
kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memerhatikan amalan
kalian. Maka berhati-hatilah
kalian terhadap dunia dan
wanita, karena sesungguhnya
awal fitnah (kehancuran) Bani
Israil dari kaum wanita.” (HR. Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudri
radhiyallahu ‘anhu)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga memperingatkan
umatnya untuk berhati-hati dari
fitnah wanita, dengan sabda beliau:





“Tidaklah aku meninggalkan
fitnah sepeninggalku yang lebih
berbahaya terhadap kaum lelaki
dari fitnah (godaan)
wanita.” (Muttafaqun ‘alaih,
dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma)

Maka, pacaran berarti
menjerumuskan diri dalam fitnah
yang menghancurkan dan
menghinakan, padahal
semestinya setiap orang memelihara dan menjauhkan diri
darinya. Hal itu karena dalam
pacaran terdapat berbagai
kemungkaran dan pelanggaran
syariat sebagai berikut:

1. Ikhtilath, yaitu bercampur baur antara lelaki dan wanita
yang bukan mahram. Padahal
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjauhkan umatnya dari
ikhtilath, sekalipun dalam
pelaksanaan shalat. Kaum wanita yang hadir pada shalat
berjamaah di Masjid Nabawi
ditempatkan di bagian belakang
masjid. Dan seusai shalat,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berdiam sejenak, tidak bergeser dari tempatnya agar
kaum lelaki tetap di tempat dan
tidak beranjak meninggalkan
masjid, untuk memberi
kesempatan jamaah wanita
meninggalkan masjid terlebih dahulu sehingga tidak
berpapasan dengan jamaah lelaki.
Hal ini ditunjukkan oleh hadits
Ummu Salamah radhiyallahu
‘anha dalam Shahih Al-Bukhari.

Begitu pula pada hari Ied, kaum wanita disunnahkan untuk keluar
ke mushalla (tanah lapang)
menghadiri shalat Ied, namun
mereka ditempatkan di mushalla
bagian belakang, jauh dari shaf
kaum lelaki. Sehingga ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam usai menyampaikan
khutbah, beliau perlu mendatangi
shaf mereka untuk memberikan
khutbah khusus karena mereka
tidak mendengar khutbah tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh
hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu
dalam Shahih Muslim.

Bahkan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:





“Sebaik-baik shaf lelaki adalah
shaf terdepan dan sejelek-
jeleknya adalah shaf terakhir.
Dan sebaik-baik shaf wanita
adalah shaf terakhir, dan
sejelek-jeleknya adalah shaf terdepan.” (HR. Muslim dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
rahimahullah berkata: “Hal itu dikarenakan dekatnya shaf
terdepan wanita dari shaf terakhir lelaki sehingga
merupakan shaf terjelek, dan
jauhnya shaf terakhir wanita
dari shaf terdepan lelaki
sehingga merupakan shaf
terbaik. Apabila pada ibadah shalat yang disyariatkan secara
berjamaah, maka bagaimana
kiranya jika di luar ibadah? Kita
mengetahui bersama, dalam
keadaan dan suasana ibadah
tentunya seseorang lebih jauh dari perkara-perkara yang
berhubungan dengan syahwat.
Maka bagaimana sekiranya
ikhtilath itu terjadi di luar
ibadah?

Sedangkan setan
bergerak dalam tubuh Bani Adam begitu cepatnya mengikuti
peredaran darah . Bukankah
sangat ditakutkan terjadinya
fitnah dan kerusakan besar
karenanya?” (Lihat Fatawa An-
Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 45)

Subhanallah. Padahal wanita para
shahabat keluar menghadiri
shalat dalam keadaan berhijab
syar’i dengan menutup seluruh
tubuhnya –karena seluruh tubuh wanita adalah aurat– sesuai
perintah Allah Subhanahu wa
Ta’ala dalam surat Al-Ahzab
ayat 59 dan An-Nur ayat 31,
tanpa melakukan tabarruj
karena Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang mereka
melakukan hal itu dalam surat Al-
Ahzab ayat 33, juga tanpa
memakai wewangian berdasarkan
larangan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan
Ahmad, Abu Dawud, dan yang
lainnya : ٌ



“Hendaklah mereka keluar tanpa
memakai wewangian.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga melarang siapa saja
dari mereka yang berbau harum
karena terkena bakhur untuk untuk hadir shalat berjamaah
sebagaimana dalam Shahih Muslim
dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 53:





“Dan jika kalian (para shahabat)
meminta suatu hajat
(kebutuhan) kepada mereka
(istri-istri Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam) maka mintalah
dari balik hijab. Hal itu lebih bersih (suci) bagi kalbu kalian
dan kalbu mereka.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala
memerintahkan mereka
berinteraksi sesuai tuntutan
hajat dari balik hijab dan tidak boleh masuk menemui mereka
secara langsung.

Asy-Syaikh Ibnu
Baz rahimahullah berkata: “Maka
tidak dibenarkan seseorang
mengatakan bahwa lebih bersih
dan lebih suci bagi para shahabat dan istri-istri Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sedangkan bagi generasi-
generasi setelahnya tidaklah
demikian. Tidak diragukan lagi
bahwa generasi-generasi setelah shahabat justru lebih butuh
terhadap hijab dibandingkan
para shahabat, karena
perbedaan yang sangat jauh
antara mereka dalam hal
kekuatan iman dan ilmu. Juga karena persaksian Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
terhadap para shahabat, baik
lelaki maupun wanita, termasuk
istri-istri Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam sendiri bahwa mereka adalah generasi terbaik
setelah para nabi dan rasul,
sebagaimana diriwayatkan dalam
Shahih Al-Bukhari dan Shahih
Muslim. Demikian pula, dalil-dalil
Al-Qur`an dan As-Sunnah menunjukkan berlakunya suatu
hukum secara umum meliputi
seluruh umat dan tidak boleh
mengkhususkannya untuk pihak
tertentu saja tanpa dalil.” (Lihat
Fatawa An-Nazhar, hal. 11-10)

Pada saat yang sama, ikhtilath
itu sendiri menjadi sebab yang
menjerumuskan mereka untuk
berpacaran, sebagaimana fakta
yang kita saksikan berupa akibat
ikhtilath yang terjadi di sekolah, instansi-instansi pemerintah dan
swasta, atau tempat-tempat
yang lainnya. Wa ilallahil
musytaka (Dan hanya kepada
Allah kita mengadu)

2. Khalwat, yaitu berduaannya lelaki dan wanita tanpa mahram.
Padahal Rasululllah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:





“Hati-hatilah kalian dari masuk
menemui wanita.” Seorang lelaki
dari kalangan Anshar berkata:
“Bagaimana pendapatmu dengan
kerabat suami? ” Maka
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mereka adalah
kebinasaan.” (Muttafaq ‘alaih,
dari ‘Uqbah bin ‘Amir
radhiyallahu ‘anhu)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga bersabda:





“Jangan sekali-kali salah
seorang kalian berkhalwat
dengan wanita, kecuali bersama
mahram.” (Muttafaq ‘alaih, dari
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma)

Hal itu karena tidaklah terjadi
khalwat kecuali setan bersama
keduanya sebagai pihak ketiga,
sebagaimana dalam hadits Jabir
bin Abdillah radhiyallahu
‘anhuma:





“Barangsiapa beriman kepada
Allah dan hari akhir maka jangan
sekali-kali dia berkhalwat dengan
seorang wanita tanpa disertai
mahramnya, karena setan akan
menyertai keduanya.” (HR. Ahmad)

3. Berbagai bentuk perzinaan
anggota tubuh yang disebutkan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam hadits Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu:









“Telah ditulis bagi setiap Bani
Adam bagiannya dari zina, pasti
dia akan melakukannya, kedua
mata zinanya adalah memandang,
kedua telinga zinanya adalah
mendengar, lidah(lisan) zinanya adalah berbicara, tangan zinanya
adalah memegang, kaki zinanya
adalah melangkah, sementara
kalbu berkeinginan dan
berangan-angan, maka kemaluan
lah yang membenarkan atau mendustakan.”
Hadits ini menunjukkan bahwa
memandang wanita yang tidak
halal untuk dipandang meskipun
tanpa syahwat adalah zina
mata . Mendengar ucapan wanita (selain istri) dalam bentuk
menikmati adalah zina telinga.
Berbicara dengan wanita (selain
istrinya) dalam bentuk menikmati
atau menggoda dan merayunya
adalah zina lisan. Menyentuh wanita yang tidak dihalalkan
untuk disentuh baik dengan
memegang atau yang lainnya
adalah zina tangan.
Mengayunkan langkah menuju
wanita yang menarik hatinya atau menuju tempat perzinaan
adalah zina kaki. Sementara
kalbu berkeinginan dan
mengangan-angankan wanita
yang memikatnya, maka itulah
zina kalbu. Kemudian boleh jadi kemaluannya mengikuti dengan
melakukan perzinaan yang
berarti kemaluannya telah
membenarkan; atau dia selamat
dari zina kemaluan yang berarti
kemaluannya telah mendustakan. (Lihat Syarh Riyadhis Shalihin
karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin,
pada syarah hadits no. 16 22)

Padahal Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:







“Dan janganlah kalian mendekati
perbuatan zina, sesungguhnya
itu adalah perbuatan nista dan
sejelek-jelek jalan.” (Al-Isra`: 32)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga bersabda:





“Demi Allah, sungguh jika kepala
salah seorang dari kalian ditusuk
dengan jarum dari besi, maka itu
lebih baik dari menyentuh wanita
yang tidak halal baginya.” (HR.
Ath-Thabarani dan Al-Baihaqi dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu
‘anhu, dan dishahihkan oleh Al-
Albani dalam Ash-Shahihah no.
226)

Meskipun sentuhan itu hanya
sebatas berjabat tangan maka tetap tidak boleh. Aisyah
radhiyallahu ‘anha berkata:





“Tidak. Demi Allah, tidak pernah
sama sekali tangan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyentuh tangan wanita (selain
mahramnya), melainkan beliau
membai’at mereka dengan ucapan (tanpa jabat
tangan).” (HR. Muslim)

Demikian pula dengan pandangan,
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
berfirman dalam surat An-Nur
ayat 31-30:





“Katakan (wahai Nabi) kepada
kaum mukminin, hendaklah
mereka menjaga pandangan
serta kemaluan mereka (dari
halhal yang diharamkan) –hingga
firman-Nya- Dan katakan pula kepada kaum mukminat,
hendaklah mereka menjaga
pandangan serta kemaluan
mereka (dari hal-hal yang
diharamkan)….”

Dalam Shahih Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu
‘anhuma, dia berkata:





“Aku bertanya kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang pandangan yang tiba-
tiba (tanpa sengaja)? Maka
beliau bersabda: ‘Palingkan
pandanganmu’.” Adapun suara dan ucapan
wanita, pada asalnya bukanlah
aurat yang terlarang. Namun
tidak boleh bagi seorang wanita
bersuara dan berbicara lebih dari
tuntutan hajat (kebutuhan), dan tidak boleh melembutkan suara.
Demikian juga dengan isi
pembicaraan, tidak boleh berupa
perkara-perkara yang
membangkitkan syahwat dan
mengundang fitnah. Karena bila demikian maka suara dan
ucapannya menjadi aurat dan
fitnah yang terlarang.

Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:





“Maka janganlah kalian (para
istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam) berbicara dengan suara
yang lembut, sehingga lelaki yang
memiliki penyakit dalam kalbunya
menjadi tergoda dan ucapkanlah perkataan yang ma’ruf
(baik).” (Al-Ahzab: 32)

Adalah para wanita datang
menemui Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan di sekitar
beliau hadir para shahabatnya, lalu wanita itu berbicara kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyampaikan
kepentingannya dan para
shahabat ikut mendengarkan.
Tapi mereka tidak berbicara lebih dari tuntutan hajat dan tanpa
melembutkan suara.

Dengan demikian jelaslah bahwa
pacaran bukanlah alternatif yang
ditolerir dalam Islam untuk
mencari dan memilih pasangan hidup. Menjadi jelas pula bahwa
tidak boleh mengungkapkan
perasaan sayang atau cinta
kepada calon istri selama belum
resmi menjadi istri. Baik
ungkapan itu secara langsung atau lewat telepon, ataupun
melalui surat. Karena saling
mengungkapkan perasaan cinta
dan sayang adalah hubungan
asmara yang mengandung makna
pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah.

Demikian pula
halnya berkunjung ke rumah
calon istri atau wanita yang ingin
dilamar dan bergaul dengannya
dalam rangka saling mengenal
karakter dan sifat masing- masing, karena perbuatan
seperti ini juga mengandung
makna pacaran yang akan
menyeret ke dalam fitnah.
Wallahul musta’an (Allah-lah
tempat meminta pertolongan).

Adapun cara yang ditunjukkan
oleh syariat untuk mengenal
wanita yang hendak dilamar
adalah dengan mencari
keterangan tentang yang
bersangkutan melalui seseorang yang mengenalnya, baik tentang
biografi (riwayat hidup),
karakter, sifat, atau hal lainnya
yang dibutuhkan untuk diketahui
demi maslahat pernikahan.

Bisa
pula dengan cara meminta keterangan kepada wanita itu
sendiri melalui perantaraan
seseorang seperti istri teman
atau yang lainnya. Dan pihak
yang dimintai keterangan
berkewajiban untuk menjawab seobyektif mungkin, meskipun
harus membuka aib wanita
tersebut karena ini bukan
termasuk dalam kategori ghibah
yang tercela. Hal ini termasuk
dari enam perkara yang dikecualikan dari ghibah,
meskipun menyebutkan aib
seseorang. Demikian pula
sebaliknya dengan pihak wanita
yang berkepentingan untuk
mengenal lelaki yang berhasrat untuk meminangnya, dapat
menempuh cara yang sama.
Dalil yang menunjukkan hal ini
adalah hadits Fathimah bintu Qais
ketika dilamar oleh Mu’awiyah
bin Abi Sufyan dan Abu Jahm, lalu dia minta nasehat kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam maka beliau bersabda:





“Adapun Abu Jahm, maka dia
adalah lelaki yang tidak pernah
meletakkan tongkatnya dari
pundaknya . Adapun Mu’awiyah,
dia adalah lelaki miskin yang
tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (HR.
Muslim)

Para ulama juga menyatakan
bolehnya berbicara secara
langsung dengan calon istri yang
dilamar sesuai dengan tuntunan hajat dan maslahat. Akan tetapi
tentunya tanpa khalwat dan dari
balik hijab. Asy-Syaikh Ibnu
Utsaimin dalam Asy-Syarhul
Mumti’ (130-129/5 cetakan
Darul Atsar) berkata: “Bolehnya berbicara dengan calon istri yang
dilamar wajib dibatasi dengan
syarat tidak membangkitkan
syahwat atau tanpa disertai
dengan menikmati percakapan
tersebut. Jika hal itu terjadi maka hukumnya haram, karena
setiap orang wajib menghindar
dan menjauh dari fitnah.”
Perkara ini diistilahkan dengan
ta’aruf.

Adapun terkait dengan
hal-hal yang lebih spesifik yaitu organ tubuh, maka cara yang
diajarkan adalah dengan
melakukan nazhor, yaitu melihat
wanita yang hendak dilamar.

Nazhor memiliki aturan-aturan
dan persyaratan-persyaratan yang membutuhkan pembahasan
khusus .
Wallahu a’lam.

Sumber:
www.darussalaf.or.id/stories.php?id=660

0 comments:

Post a Comment